NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pengusaha tambang nikel Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) merasa khawatir terhadap kebijakan pemerintah yang memperpanjang kewajiban penempatan devisa hasil ekspor (DHE) menjadi satu tahun. Aturan ini dapat mempengaruhi arus kas perusahaan, khususnya smelter, serta berdampak pada produksi dan penerimaan negara.
Hal itu diungkapkan Sekretaris Umum (Sekum) APNI, Meidy Katrin Lengkey, dalam program Mining Zone CNBC Indonesia, Senin (20/1/2025).
“Kami khawatir smelter akan menunda pembayaran bahan baku seperti bijih nikel hingga setahun, yang dapat mematikan roda ekonomi sektor ini,” ujar Meidy.
Kebijakan DHE sebelumnya hanya berlaku tiga bulan dengan proporsi 30% sudah mendapat penolakan dari pelaku usaha.
Selain itu, ia juga menyoroti peningkatan kebutuhan bijih nikel pada 2025 yang diperkirakan mencapai 330-350 juta ton, naik dari 260-280 juta ton pada 2024. Meskipun kebutuhan ini terus meningkat, ia mengingatkan agar pembangunan smelter baru dievaluasi untuk memastikan keberlanjutan cadangan nikel nasional.
APNI, mengingatkan kembali, telah mengusulkan moratorium pembangunan smelter baru sejak dua tahun lalu. Ia menekankan, pentingnya mendukung smelter yang sudah eksis serta mendorong industrialisasi menuju produk akhir dengan nilai tambah tinggi, bukan hanya produk setengah jadi.
“Cadangan nikel kita memang besar, tapi jika pembangunan smelter terus dilakukan tanpa pengendalian, cadangan ini bisa cepat habis,” tambahnya.
Perempuan kelahiran 21 April ini juga menyinggung kampanye negatif terkait nikel Indonesia, yang disebut sebagai dirty nickel hingga bloody nickel. Pemenuhan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) global seperti yang ditetapkan Uni Eropa memerlukan upaya besar dari pemerintah dan pelaku usaha.
“Indonesia harus menyusun standar ESG yang sesuai dengan kondisi lokal, namun tetap memenuhi kebutuhan pasar global,” ujarnya.
Untuk itu, APNI berencana menggelar forum ESG dengan menghadirkan berbagai pihak, termasuk produsen global, seperti Tesla dan Mercedes, serta lembaga standar internasional.
Terkait perluasan pengelolaan tambang kepada PTN yang diatur dalam revisi UU Minerba, Meidy menyebut ide tersebut kurang realistis. Ia menilai bahwa sektor pertambangan sangat kompleks dan memerlukan kapasitas profesional serta modal besar, yang belum tentu dimiliki oleh institusi pendidikan.
“Saat ini perusahaan tambang profesional saja menghadapi banyak tantangan, apalagi jika dikelola oleh pihak yang belum mumpuni,” tegasnya. (Aninda)