Beranda Pemerintahan Sekjen APNI: Konsistensi Kebijakan RKAB Kunci Stabilitas Industri Nikel

Sekjen APNI: Konsistensi Kebijakan RKAB Kunci Stabilitas Industri Nikel

1400
0
Meidy Katrin Lengkey. Dok: APNI.

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah Indonesia sedang meninjau ulang Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) sektor pertambangan, termasuk nikel, untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan industri dan keberlanjutan para pelaku usaha lokal.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan agar RKAB lebih sesuai dengan kebutuhan industri nyata dan mencegah produksi yang berlebihan.

“Pemangkasan produksi belum dilakukan, tetapi kami memastikan keseimbangan antara permintaan perusahaan terhadap RKAB dan kapasitas industri yang ada,” ujar Bahlil, Jumat (17/1/2025).

Sementara itu, Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, menegaskan pentingnya konsistensi kebijakan terhadap pelaku usaha nikel. Dalam acara Closing Bell CNBC Indonesia, Senin (20/1/2025), Meidy menyampaikan bahwa Indonesia kini memegang pangsa pasar nikel dunia di atas 60% pada 2023-2024, dengan kenaikan kapasitas produksi yang signifikan.

“Produksi nikel kita, seperti MHP dan nikel matte, mengalami kenaikan hingga 30% dari 2023 ke 2024. Namun, persetujuan RKAB menjadi kunci untuk melanjutkan produksi ini,” ujarnya.

Sekum APNI itu juga menyoroti tantangan yang dihadapi ketika persetujuan RKAB tertunda, yang pernah menyebabkan Indonesia mengimpor bijih nikel dari Filipina pada awal tahun 2024. Untuk tahun 2025, persetujuan RKAB hampir mencapai 298 juta ton, meskipun ada rumor pemangkasan hingga 150 juta ton.

“Jika pemangkasan ini benar terjadi, analisis dunia seperti dari Macquire dan INSG menyebutkan bahwa harga nikel dapat menembus di atas US$20.000 per ton. Namun, dampaknya pada pelaku usaha akan sangat besar, mengingat RKAB sudah disetujui hingga 2026,” tambahnya.

Menurut dia, dampak dari revisi RKAB dinilai dapat menimbulkan efek domino pada perencanaan operasional perusahaan, termasuk alokasi anggaran, tenaga kerja, dan kapasitas produksi. Perubahan mendadak pada RKAB yang sudah disetujui dapat memicu kekacauan di sektor pertambangan.

“Kami sudah merencanakan segala sesuatu berdasarkan RKAB yang disetujui. Jika tiba-tiba kuota produksi ditarik atau dikurangi, itu akan merugikan perusahaan secara signifikan,” katanya berargumen.

Selain itu, pelaku usaha juga menghadapi kenaikan biaya produksi akibat kenaikan PPN 12% dan penggunaan bahan bakar B40. Ditambah lagi, aturan Paspor Baterai Uni Eropa yang akan diberlakukan pada 2027, yg mewajibkan standar ESG yang ketat, yang akan meningkatkan biaya produksi.

“Saat biaya meningkat dan harga nikel tetap turun, pengusaha harus berpikir ulang. Jika produksi malah merugikan, opsi untuk menghentikan sementara operasi menjadi pilihan yang realistis,” katanya prihatin. (Aninda)