Beranda Desember 2024 APNI Minta Pemerintah Fokus Dukung Smelter yang Sudah Eksis di Indonesia

APNI Minta Pemerintah Fokus Dukung Smelter yang Sudah Eksis di Indonesia

1372
0
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (Sekum APNI), Meidy Katrin Lengkey.
Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (Sekum APNI), Meidy Katrin Lengkey.

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) meminta kepada pemerintah untuk fokus mendukung pabrik pengelolaan dan pemurnian (smelter) yang sudah eksis di Indonesia terlebih dahulu.

Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, pemerintah sebaiknya jangan menambah smelter lagi mengingat jumlah cadangan nikel di Indonesia semakin menipis. Jika smelter terus dibangun, cadangan akan habis.

Menurut Meidy, saat ini smelter atau fasilitas pemurnian nikel pirometalurgi yang sudah beroperasi atau berproduksi ada 49 smelter, 226 lines. Untuk smelter pirometalurgi yang masih dalam tahap kontruksi ada 36 smelter, 133 lines. Smelter yang sedang tahap krontruksi ini tercatat membutuhkan bijih nikel sebesar 158.056.379/wmt.

“APNI concern terhadap kebutuhan bijih nikelnya, baik hidrometalurgi maupun pirometalurgi, baik yang sudah berproduksi maupun yang sedang tahap konstruksi,” ujarnya saat menyampaikan paparan dalam diksusi kelompok terfokus atau focus group discussion (FGD) bertema “Kajian Efisiensi dan Efektivitas Pengolahan dan Pemurnian Nikel di Dalam Negeri” bersama Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Jumat (13/12/2014).

Sementara itu, pabrik pengolahan hidrometalurgi yang menghasilkan mixed hydroxide precipitate (MHP), nikel sulfat, hingga katode baterai yang sudah beroperasi berjumlah 6 pabrik, 15 lines. Dalam masa kontruksi terdapat 4 pabrik, 6 lines, dan membutuhkan nikel sebanyak 56.941.206/wmt. 

Untuk itu, konsumsi bijih nikel untuk pirometalurgi hampir berjumlah 400 juta ton, tepatnya 390.349.368 ton bijih nikel; sedangkan untuk hidrometalurgi, mencapai 119.200.994/wmt. Dari catatan KBLI 24202, jumlah badan usaha pengolahan nikel yang ada bisa mencapai 240 badan usaha, yang berarti total konsumsi bijih nikel bisa melebihi 1,2 miliar ton.

“Setelah kami coba kroscek KBLI 24202, pabrik pengolahan nikel ini sampai 240 berbadan usaha, per-PT itu KBLI 24202 itu sampai 240 badan usaha. Tapi kalau tadi kan yang sedang berproduksi maupun yang sedang berproduksi 95 (smelter),” terangnya.

Dirinya menilai dengan jumlah pengolahan pemurnian nikel sebanyak itu, maka nikel di Indonesia tidak sampai 5 tahun.

“Cadangan kita gak bakalan cukup,” tegasnya.

Maka dari itu, ia menjelaskan, sejak 2022 APNI sudah meminta pemerintah untuk melakukan moratorium smelter nikel, khususnya yang menggunakan teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF).

“Nah, mudah-mudahan saat ini kita cukup mendukung pabrik yang sudah berdiri. Sebaiknya lebih mengundang HPAL karena makannya bijih nikel kadar rendah. Atau saran kami, agar smelter saat ini lebih menggunakan tekhnologi oxygen enriched side blown furnace (OESBF) yang sudah digunakan CNGR,” sarannya.

Biaya produksinya, sambungnya, lebih murah dan menggunakan bijih nikel kadar rendah. Dan, yang lebih menarik lagi adalah konsumsi energinya hanya sekitar 30-35 megawatt. Bandingkan dengan RKEF konvensional dan yang pasti kembali ke pencemaran udara. (Lili Handayani)