
NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Julian Ambassadurr Shiddiq, menyampaikan perkembangan terkini terkait proyek smelter di Indonesia, yang mencerminkan komitmen kuat pemerintah terhadap hilirisasi industri pertambangan dan pengolahan mineral.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), saat ini Indonesia memiliki total 190 smelter yang dalam berbagai tahap pembangunan. Dari jumlah tersebut, 54 smelter telah beroperasi, 120 lainnya masih dalam tahap konstruksi, dan 16 smelter sedang dalam perencanaan.
“Kami tidak bisa memastikan kapan tepatnya seluruh smelter ini akan selesai menjalani tahap commissioning. Namun, target utama kami adalah sebanyak mungkin smelter dapat beroperasi dalam beberapa tahun mendatang,” ucap Julian kepada wartawan usai diskusi publik terkait Masa Depan Hilirisasi Nikel Indonesia baru-baru ini, yang diselenggarakan DPP Partai Golkar, di Jakarta.
Menurutnya, perbandingan jenis smelter yang akan dibangun dari 190 smelter yang direncanakan, 5 hingga 8 di antaranya merupakan smelter high pressure acid Lleaching (HPAL) yang khusus menangani ekstraksi nikel berkadar rendah untuk keperluan baterai, sementara sisanya adalah smelter jenis rotary kiln electric furnace (RKEF) yang digunakan untuk mengolah nikel kadar tinggi.
Pentingnya Hilirisasi untuk Produk Siap Pakai
Dalam kesempatan yang sama, dia juga menekankan pentingnya peningkatan hilirisasi. Indonesia perlu memperluas hilirisasi dari sekadar tahap ekstraksi hingga mencapai proses manufaktur produk akhir.
“Ilustrasi ini sudah berjalan, namun kami perlu mendorong lebih jauh agar kita tidak hanya berhenti pada produk mentah. Harapan kami, pada akhirnya hilirisasi ini mampu menghasilkan produk jadi atau siap pakai di tingkat manufaktur,” jelasnya.
Selain itu, Julian menggarisbawahi pentingnya meningkatkan efektivitas proses ekstraksi di Indonesia. “Kami ingin proses ekstraksi ini berjalan dengan efisien, termasuk pengelolaan limbah (tailing), agar bisa mencapai Zero Waste atau pengolahan total hilir,” ungkapnya.
Kolaborasi Antar-Kementerian dan Rantai Pasokan
Untuk mencapai target hilirisasi maksimal, dia menyebutkan, pentingnya kolaborasi antara kementerian dan lembaga terkait.
“Kolaborasi ini penting agar proses hilirisasi berjalan dengan lancar dan terintegrasi, terutama dalam memastikan rantai pasokan yang berkelanjutan dari industri tambang ke sektor pengolahan atau ekstraksi,” sebutnya.
Kerja sama antarkementerian ini diharapkan dapat menciptakan rantai pasokan yang kuat dari sektor pertambangan hingga pengolahan produk akhir.

Selain manfaat ekonomi, menurut Julian, hilirisasi mineral juga diakui memberikan kontribusi penting dalam upaya transisi energi. Dia menuturkan bahwa produk-produk hilirisasi, seperti nikel yang digunakan untuk baterai, memiliki peran krusial dalam mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
“Bahan yang kami hasilkan dari smelter ini menunjukkan kontribusi nyata terhadap energi terbarukan, terutama dalam pengembangan baterai yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Namun, di balik manfaat ini, ia mengakui adanya potensi dampak negatif dari hilirisasi, khususnya terhadap lingkungan. Untuk itu, KESDM berkomitmen untuk memperketat pengawasan dan monitoring industri smelter agar dampak negatif tersebut dapat diminimalkan.
“Kami berusaha mengurangi dampak ini dengan melakukan pengawasan ketat serta menerapkan aturan yang lebih ketat terkait pengelolaan lingkungan,” tambahnya.
Pengendalian Eksplorasi
Menanggapi kekhawatiran tentang potensi habisnya cadangan nikel dalam empat hingga lima tahun ke depan, Julian menegaskan bahwa kontrol produksi dan eksplorasi menjadi kunci utama. Jika tidak dikendalikan, cadangan nikel Indonesia memang dapat terkuras dalam waktu singkat.
“Harapan kami, jika ini dikendalikan dan diiringi dengan penambahan sumber daya cadangan, pasokan nikel akan lebih terjamin untuk mendukung kebutuhan industri smelter kita,” katanya.
Terkait isu perizinan, ia menjelaskan bahwa Kementerian ESDM sangat ketat dalam proses penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), meskipun ada laporan yang menyebutkan bahwa beberapa izin belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.
“Kami menjalankan proses ini sesuai aturan yang berlaku, meskipun terkadang ini membuat prosesnya memakan waktu lebih lama dan sering dikeluhkan oleh pengusaha,” ujarnya.
Komitmen Kementerian ESDM untuk mempertahankan prosedur ketat ini diharapkan dapat menjamin legalitas dan kualitas operasional di sektor pertambangan Indonesia serta mendukung hilirisasi yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. (Shiddiq)