NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, proyeksi produksi nikel Indonesia pada tahun 2030 akan meningkat mencapai 3,74 juta ton atau sebesar 95%.
Hal ini dia ungkapkan ketika memberikan pemaparan terkait produksi bijih nikel Indonesia dalam slide materi pada acara Indonesia Critical Mineral Conference 2024 (ICMC 2024) di hari kedua, di Hotel Mulia, Jakarta.
“Jadi peningkatan-peningkatan ini membuktikan bahwa kita memiliki potensi besar dari 2023 ekspektasi, prediksi kita 2030 akan mencapai 95% ekspor dunia,” kata Meidy dalam acara tersebut, Rabu (12/6/2024).
Menurutnya, dari hasil konsumsi produksi bijih nikel Indonesia menghasilkan produk setengah jadi (intermediate) berupa nikel matte, mixed hydroxide Precipitate (MHP).
“Dari beberapa konsumsi bijih nikel tahun 2021 ke 2023 dan dari 2021 hanya mencapai 36% atau 1,350 juta ton dan tahun 2023 nikel dunia mencapai 65% atau 1,8 juta ton. Jadi diperkirakan dari 2024 ini produksi nikel pada tahun 2030 akan mencapai 3,7 juta ton,” ujarnya.
Dia menyebutkan, APNI telah berhasil membentuk Indonesia Price Index (INPI) bekerja sama dengan Shanghai Metals Market. SMM dipilih karena dinilai memiliki pengalaman yang luas dan kompeten dalam penentuan nilai harga komoditas.
“Jadi, SMM memberikan data yang akurat karena mereka adalah salah satu perusahaan yang independen. Paling tidak, Indonesia bisa memiliki harga patokan nikel sendiri. Kita juga berharap kedepannya, Indonesia punya price index sendiri. Mudah-mudahan kita mendapatkan support,” sebut Kartini-nya dunia pertambangan, khususnya nikel.
Ia juga menuturkan, untuk ekspor nikel Indonesia pangsa terbesarnya adalah negara China. “Dari sini kita bisa melihat 99% nikel mengalir ke China,” tuturnya.
Dari situ, Meidy beralasan bahwa Indonesia memiliki material row nickel, produk dan kemampuan memproduksi, mengolah dan memproses hingga menjadi value added yang baik.
Sehingga dengan potensi tersebut, bukan saja menciptakan price index melainkan menghasilkan produk setengah jadi hingga produk jadi.
“Paling tidak, kami menginginkan harga patokan kami sendiri,” ungkapnya.
Menurut dia, produk nikel yang dihasilkan juga termasuk untuk kebutuhan stainless steel seperti feronikel. Selama ini permintaan kebutuhan pemenuhan konsumsi stainless steel paling besar berasal dari China bahkan mulai dari saprolit, limonit, hingga produk intermediate seperti nickel pig iron (NPI), MHP hingga nickel matte.
Selain itu, pertambangan nikel bukan hanya menghasilkan bijih nikel tapi juga mineral-mineral lainnya yang ikut bersamaan, seperti kobalt, iron chrome.
Jadi, sudah sepatutnya Indonesia yang menentukan harga karena kalau dari negara lain pasti tidak akan memberikan kebaikan bagi Indonesia.
“Jadi bagaimana kita menerapkan mekanisme harga yang lebih adil,” ujarnya. (Shiddiq)