NIKEL.CO.ID, JAKARTA – PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) didirikan pada 1976 dan saat ini tergabung di perusahaan induk (holding) Mining Industry Indonesia (Mind Id). Perusahaan yang berpusat di Kabupaten Batubara, Sumatra Utara, ini adalah satu-satunya produsen aluminium primer di Indonesia dengan kapasitas produksi 250 ktpa (kilo tonnes per annum) dan menghasilkan produk ingot, billet, dan alloy. Perusahaan ini memiliki pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan total kapasitas terpasang sebesar 603 MW.
Demikian diungkapkan Group Head Supply Chain Management & Commercial Inalum, Gusti Fauzi M. Gafli, memperkenalkan perusahaannya kepada para peserta ASEAN Aluminium Conference Indonesia Critical Mineral Conference 2024, di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, 12 Juni 2024.
Inalum, katanya melanjutkan, merupakan produsen aluminium primer pertama di Asia Tenggara dan secara global dikenal sebagai produsen aluminium rendah karbon. Saat ini rata-rata industri menghasilkan emisi 12,5 t CO2 eq/t AI pada smelter scope 1 & 2, sedangkan jejak karbon (carbon footprint) hanya 3,8 t CO2 eq/t AI. Alunium hasil Inalum 100% diproduksi dengan memanfaatkan hydropower.
Produksi Inalum menguasai pasar domestik 53%, dengan penyebaran pemanfaatan 32% untuk sektor transportasi, 21% kontruksi, 20% elektrik, 8% pengemasan, 8% permesinan, dan 11% sektor lain. Sampai saat ini distribusinya ke 11 negara Asia, 9 negara Eropa, dan 4 negara Amerika dan Afrika.
“Kapasitas produksi Inalum setelah peningkatan kapasitas produksi melalui upgrading pot mencapai 300 ton per tahun,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk Fase I Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Mempawah, Kalimantan Barat, sudah selesai. Ia berharap pada kwartal pertama tahun 2025 sudah mulai beroperasi. Proyek Smelter Mempawah akan menghubungkan rantai pasokan antara mineral bijih bauksit (Kalimantan Barat) dengan pabrik peleburan aluminium (Inalum). Jika sudah beroperasi, SGAR Mempawah diperhitungkan bisa memproduksi 1 juta ton alumina per tahun, dengan pasokan bahan baku 3,3 juta ton bauksit per tahun.
“Sebagian hasilnya akan disuplai ke Inalum dan sebagian lagi akan dijual ke luar. Selanjutnya, kita akan membangun fase II yang sekarang masih dalam studi kelayakan. Kalau pada fase I bersama PT Aneka Tambang (Antam), akan kita lihat apakah fase II kita akan mempunyai prospective strategic partner (minority stake) dari luar apa tidak. Namun, karena ini adalah tambang, maka mayoritas harus Indonesia,” kata Gusti menjelaskan kepada majalah Media Nikel Indonesia dan nikel.co.id di sela-sela konferensi yang diselenggarakan bersamaan dengan Indonesia Critical Mineral Conference 2024 tersebut.
Dengan demikian, ada peluang Inalum untuk mengundang strategic partner. Akan tetapi, katanya menambahkan, mitra yang diharapkan bukan hanya mitra yang punya uang, tetapi juga punya teknologi sehingga mereka bisa sharing teknologi ke Inalum, juga sudah punya pasar di luar.
“Jadi, partner bukan hanya menaruh uang, setelah itu tidak melakukan apa-apa. Tetapi, tambangnya tetap rakyat Indonesia. Mengenai siapa partner-nya, saat ini masih terlalu dini untuk disebutkan. Harapannya mereka punya uang, teknologi, dan pasar. Mereka bukan hanya ikutan tetapi tidak value added-nya buat kita. Kami harapkan mereka membawa pengetahuan atau sesuatu yang mereka punya,” paparnya.
Ia menerangkan, negara pemakai bauksit (yang nantinya diolah menjadi alumunium) adalah China, Jepang, dan Eropa. Karena sebagai sebuah perusahaan kita mencoba untuk merambah semuanya. Tadinya Indonesia cukup dominan sebagai negara pemasok bauksit global. Karena sekarang kita mencoba mengoptimalkan pengolahan bauksit menjadi alumina untuk mendapatkan value added, maka kini orang tergantung kepada Guinea, sebuah republik di Afrika barat.
Inalum dalam Ekosistem EV
EV adalah salah satu penggerak ekonomi, terutama dalam penggunaan alumunium. China menjadi salah satu eksportir EV terbesar di dunia, tetapi Korea kini merupakan penghasil EV. Peningkatan produksi EV, menurut Gusti, mendongkrak kebutuhan alumunium secara global. Itu sebabnya mengapa kita mempersiakan diri sebagai bagian dari Indonesia untuk kebutuhan yang akan datang.
“Beberapa produsen lebih banyak memakai alumunium untuk bodi mobil listrik, tetapi ada yang memakai alumunium di casing baterainya dan ada yang memakai cuma di pintu kap mesin dan bagasi. Jadi, memang berbeda-beda tergantung desainnya, tergantung siapa dan mereka desainnya seperti apa. Tetapi, yang harus kita tahu adalah semakin lama kebutuhan mobil yang semakin ringan itu semakin tinggi. Caranya orang mulai berpikir mengganti besi dengan alumunium,” ujarnya dengan wajah sumringah seraya menambahkan bahwa Inalum akan selalu mendukung ekosistem dari industri-industri yang membutuhkan alumunium, terutama domestik. (Rusdi Djana)