NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden berencana untuk menaikkan tarif impor baja dan alumunium tiga kali lipat dari Negara China. Hal ini disampaikan di hadapan Perwakilan Dangang AS dalam pertemuannya di Negara Bagian Pennsylvania.
Sebagaimana dikutip dari CNBC, Kamis (18/4/2024), dihadapan Perwakilan Dagang AS itu, Joe Biden meminta untuk menaikkan tarif rata-rata baja dan alumunium sebesar 7,5%. Hal ini guna mengantisipasi dampak praktik perdagangan di China yang ditengarai akan mengancam produk dalam negeri AS.
Berawal dari kunjungan luar negeri ke China pekan lalu, Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyampaikan kekhawatirannya dengan subsidi pemerintah China menciptakan kelebihan pasokan produk energi ramah lingkungan, seperti panel surya dan kendaraan listrik.
Yallen merasa khawatir dengan kelebihan kapasitas stok tersebut dapat di buang ke pasar global dengan harga yang lebih murah sehingga berpotensi menghambat persaingan.
Atas tudingan itu, Pejabat China membantah tuduhan kelebihan kapasitas tersebut. Pemerintah China menyebut melimpahnya pasokan produk energi ramah lingkungan adalah hasil dari inovasi bukan dari subsidi pemerintah.
Namun, jika dilihat dari industri logam dunia keterkaitan erat antara industri baja (stainless steel) dengan nikel tidak dapat dipisahkan. Rencana kenaikan tarif impor baja ini tentu akan berimbas pula dengan harga nikel sebagai bahan pelapis anti karat pada baja maupun bahan baku baterai kendaraan listrik.
Seperti pengenaan sanksi larangan pembelian logam utama penting nikel dan timah dari Rusia oleh Inggris dan AS baru-baru ini di dua pasar bursa saham terbesar dunia malah menyebabkan sentimen positif terhadap harga nikel yang naik sebesar 1,5%.
Di pasar saham Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada komoditas alumunium mengalami kenaikan 9,4% yang sebelumnya berada di posisi 2,8% atau US$2.562 per ton pada Senin (15/4/2024).
Diperkirakan harga nikel berangsur-angsur akan mengalami perbaikan kedepannya. Melihat prospek pembangunan di China telah pulih kembali sehingga permintaan kebutuhan industri stainless steel dan baterai kendaraan listrik di China mulai meningkat dan membaik kembali.
Adapun faktor naik dan turunya harga nikel ditentukan oleh beberapa indikator yaitu penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle/EV) atau penyimpanan jaringan listrik secara global dan beroperasinya industri baja (stainless steel). Dua faktor inilah yang mendorong menentukan peran penting nikel yang juga mendukung berbagai teknologi ramah lingkungan.
Konsumsi nikel jangka panjang di seluruh dunia masih didominasi dari industri stainless steel yang sedang berkembang terutama di Indonesia dan China. Saat ini, permintaan nikel untuk industri baterai EV terus meningkat namun sekitar 70% konsumsi nikel dihabiskan untuk pabrik stainless steel. Menurut data ING, baterai hanya menyumbang sekitar 17% dari total permintaan nikel.
Dari keterkaitan industri baja atau stainless steel dengan industri nikel sangatlah erat karena baja memerlukan bahan pelapis anti karat untuk bertahan lama dan berkualitas. Sehingga kebutuhan nikel sebagai bahan baku pelapis anti karat baja sangat dibutuhkan. Lalu seperti apa respon pasar terhadap rencana kenaikan tarif impor baja dari China oleh AS kedepannya? Masih perlu kita lihat secara seksama geliat para pelaku perdagangan di bursa saham internasional dari sekarang. Terutama di pasar AS itu sendiri, apakah akan mempengaruhi perdagangan global? (Shiddiq)