Beranda April 2024 Peneliti Celios: ESG dapat Dicapai dengan Desentralisasi Fungsi Pengawasan

Peneliti Celios: ESG dapat Dicapai dengan Desentralisasi Fungsi Pengawasan

1631
0
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Fiorentina Refani. (dok. CELIOS)
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Fiorentina Refani. (dok. CELIOS)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Penerapan environment, social and governance (ESG) sangat penting bagi sebuah perusahaan. Banyak sekali manfaat bagi perusahaan dalam penerapan ESG.

Demikian dikatakan peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Fiorentina Refani. Penerapan ESG, katanya meyakinkan, dapat segera terlaksana dengan cara meningkatkan fungsi pengawasan.  Hal tersebut dapat dicapai jika ada desentralisasi fungsi pengawasan dan pemberian izin untuk usaha pertambangan.

“Artinya, harus ada pengembalian fungsi-fungsi tertentu kepada pemerintah daerah dari pemerintah pusat terkait dengan industri ini,” terang Fiorentina kepada Nikel.co.id, Rabu (17/4/2024).

Kedua, lanjutnya, negara juga harus bisa mengakomodasi pengadaan instrumen pembiayaan alternatif untuk perusahaan-perusahaan yang memberikan komitmen bagi penurunan emisi karbon serta peningkatan tanggung jawab lingkungan dan sosial.

Ia menegaskan, hingga saat ini, penerapan ESG di Indonesia masih sangat jauh dari kata cukup. Sehingga, jika diimplementasikan secara optimal, harusnya ESG bisa menjadi rem atas kerusakan lingkungan dan konflik-konflik sosial-budaya yang ada di lokasi (hulu maupun hilir).

“Setidaknya sampai saat ini, ESG menjadi sekadar dokumen ‘mati’ dan tidak benar-benar diimplementasikan oleh banyak industri ekstraktif,” ungkapnya.

Penerapan ESG yang baik tentu harus melibatkan secara penuh semua stakeholder terkait. Perlu ditekankan bahwa masyarakat terdampak juga termasuk stakeholder. Artinya, masyarakat seharusnya mempunyai hak partisipasi penuh dalam pengambilan keputusan di halaman rumah mereka. 

“Selama ini kan masyarakat ditempatkan hanya sebagai penonton dari industri ekstraktivisme. Mereka yang menolak akan dikriminalisasi. Semua keputusan terkait adalah hak mutlak pemerintah pusat,” terangnya.

Aspek ekologis atau environment dan sosial, dengan penuh penekanan, harusnya menjadi landasan dalam pengambilan keputusan aspek governance.

Selain itu, ia menyampaikan, mengacu pada data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), ada peningkatan kasus konflik agraria di industri pertambangan pada 2023 dengan tambahan kasus baru sebanyak 32 titik konflik. 

Belum lagi, melihat besaran alih fungsi lahan hutan yang menyebabkan deforestasi masif dari pemberian konsesi tambang, sampai perusakan pesisir dan pulau-pulau kecil. 

“Kalau melihat kasus di Halmahera, misalnya, kerusakan dan konflik kan timbul tidak hanya di hulu pertambangannya, tapi sampai ke hilir–ke masyarakat pesisir, ke cemaran di laut,” katanya.

Penerapan ESG yang masih separuh hati ini bisa dilihat karena banyak industri ekstraktif yang masih bergantung pada pendanaan domestik (bank domestik) yang belum ketat memperhatikan, bahkan mengabaikan ESG.

“Saat perusahaan membutuhkan pendanaan di pasar internasional, baru mereka berlomba mendorong skor ESG-nya,” tutur dia. (Lili Handayani)