NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Semenjak kebijakan hilirisasi nikel diberlakukan dengan larangan ekspor bijih nikel ke luar negeri awal Januari 2020, Indonesia terus melakukan investasi besar-besaran dalam proyek pembangunan pengolahan dan pemurnian (smelter) bijih nikel. Namun belum menghasilkan nilai tambah hingga ke end product (produk jadi), semisal baterai listrik dan kendaraan listrik. Selama ini hanya baru sampai pada produk setengah jadi (intermediate), seperti feronikel, nikel matte, nikel sulfat.
Direktur Pelaksana Energy Shift Institute (ESI), Putra Adhiguna, menilai adanya ketimpangan produksi nikel yang besar-besaran hingga terjadi oversupply yang berimbas anjloknya harga nikel dunia tapi disisi lain produksi baterai dan kendaraan listrik masih sangat minim dan belum ada satu pabrik baterai kendaraan listrik pun berproduksi hingga saat ini.
“Perkembangan industri baterai dan kendaraan listrik Indonesia tertinggal jauh dari janji eksploitasi nikelnya,” kata Putra melalui pers rilis yang diterima nikel.co.id, Senin,(12/2/2024).
Dia melihat bahwa sejauh ini nilai tambah dari berbagai produk nikel Indonesia berkisar antara dua hingga 11 kali lipat dibanding produk mentahnya.
“Namun, nilai ini masih jauh di bawah nilai tambah yang lebih dari 60 kali lipat jika mencapai produksi baterai,” ujarnya.
Dia memaparkan, saat ini perhatian publik tertuju pada pesatnya pertumbuhan baterai tanpa nikel dan perdebatan mengenai masa depan nikel. Namun demikian, pihaknya memandang bahwa permintaan nikel dunia untuk baterai sangat mungkin akan terus melambung seiring dengan laju adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) meskipun hadir teknologi alternatif.
“Penting dicatat bahwa dalam sektor yang berkembang pesat, angka pertumbuhan absolut lebih penting dibandingkan pangsa pasar,” paparnya.
Ia menjelaskan, berdasarkan perkembangan yang ada, produsen baterai lebih condong menempatkan investasi pabrik mereka mengikuti perkembangan pasar KBLBB, namun adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih cukup lamban.
“Berita masuknya raksasa KBLBB, BYD, ke Indonesia patut diapresiasi namun kemungkinan tidak akan berimbas besar dalam pengembangan pabrik baterai berbasis nikel karena model kendaraan mereka yang kebanyakan menggunakan baterai tanpa nikel,” jelasnya.
Di tambah lagi, ketatnya persaingan Indonesia dengan negara ASEAN lainnya untuk memberikan insentif guna mendapatkan investasi pabrikan kendaraan listrik dan baterai.
“Juga menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas daya tawar hilirisasi nikel dalam mendorong industri baterai dan KBLBB Indonesia,” ungkapnya.
Sementara, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (Sekum APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengatakan, investasi smelter nikel secara masif yang dilakukan selama ini telah telah berhasil membangun smelter sebanyak 81 pabrik pada akhir Desember 2023. Menurutnya dari 81 pabrik smelter ada sebanyak 247 line furnace yang mampu mengkonsumsi 160 – 170 metrik ton bijih nikel di tahun 2023.
“Perhitungan kami, di tahun 2024 ada kebutuhan nikel mencapai 230 juta ton bijih nikel. Sehingga kalau di atas 200 juta ton kebutuhan per tahun pasti habislah cadangan nikel meskipun kita nomor satu cadangan nikel dunia,” sebut Meidy dalam acara kompastv, Rabu (24/1/2024). Hal ini menyikapi oversupply produksi nikel Indonesia yang berimbas anjloknya harga nikel di pasar global.
Kembali, Putra membeberkan, ke depannya pengawasan investor terhadap praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam rantai pasokan nikel dan baterai akan terus meningkat. Hal ini semakin penting dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang akan menjadi pusat pertumbuhan kendaraan listrik berikutnya dengan standar rantai pasok yang lebih tinggi.
“Selain nikel, yang kerap luput dari perhatian adalah bahwa Indonesia juga terus meningkatkan produksi kobaltnya sebagai produsen kobalt terbesar kedua di dunia. Hal ini semakin menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang optimal,” bebernya.
Menurut dia, kompetisi untuk mendapatkan modal dan pasar guna mengembangkan mineral untuk baterai dan KBLBB juga akan semakin ketat untuk memenuhi tuntutan investasi jangka panjang menuju target net zero 2050. Indonesia perlu memberikan keyakinan mengenai daya saing jangka panjangnya untuk menarik pemodalan tersebut.
“Berbagai situasi di atas perlu direspons dengan cepat oleh pemerintah karena konstruksi kebijakan yang digulirkan untuk meningkatkan ‘daya saing’ nikel Indonesia telah bersandar pada janji pengembangan industri baterai dan kendaraan listrik, terlebih lagi dengan penerapan standar lingkungan yang longgar,” ujarnya.
Ia menilai, dari kondisi saat ini kemungkinan Indonesia hanya akan bergeser dari eksportir produk nikel untuk baja tahan karat menjadi eksportir produk setengah jadi untuk industri baterai. Dengan pesatnya pertumbuhan permintaan nikel dunia, penting untuk berbagai pihak yang terlibat agar tidak memandang enteng skala pertumbuhan ke depan karena revolusi KBLBB dunia baru saja memasuki babak awal.
Para pemangku kepentingan patut bertanya apakah Indonesia telah benar memperoleh hasil yang optimal untuk sumber daya mineralnya. Dengan kapasitas produksi baterai yang sangat kecil, Indonesia tampaknya telah mencapai batas daya tawar hilirisasi nikelnya.
“Ini adalah saat yang tepat untuk meninjau ulang dan menata kembali rencana ke depan,” pungkasnya. (Shiddiq)