NIKEL.CO.ID, 10 OKTOBER 2023 – Perekonomian global mulai bergerak setelah “mati suri” dihantam badai pandemi Covid-19. Dibukanya kembali pasar Tiongkok dan harga energi yang lebih rendah pada awal 2023 membawa dampak positif bagi perekonomian dunia. Tetapi, kebijakan moneter yang lebih ketat dan suku bunga lebih tinggi untuk memerangi inflasi mau tak mau mempengaruhi kepercayaan bisnis dan konsumen.
Hal di atas menjadi salah satu bahasan yang menarik dalam “Meeting Future Demand for Minerals” yang diselenggarakan, International Nickel Study Group (INSG), Lisbon, Portugal, 3-4 Oktober 2023. Pada acara tersebut perwakilan pemerintah dan industri dari negara-negara anggota, pengamat, dan beberapa organisasi internasional berpartisipasi dan secara ekstensif mendiskusikan tren pasar nikel saat ini.
Pokok pembicaraan yang cukup menarik, World Stainless Association (sebelumnya International Stainless Steel Forum/ISSF) mempresentasikan untuk paruh pertama 2023, produksi pabrik peleburan baja nirkarat turun 0,9% tahunan (YOY) menjadi 26,7 juta metrik ton (mt). INSG memperkirakan adanya pemulihan pada paruh kedua 2023 di sektor baja nirkarat, dengan pertumbuhan lebih lanjut pada 2024, dan peningkatan penggunaan nikel dalam baterai untuk kendaraan listrik (EV).

Perkembang yang sedang berlangsung di Indonesia pun tak luput dari pengamatan dunia. Produksi nickel pig iron (NPI) diperkirakan akan terus meningkat, pabrik high pressure acid leaching (HPAL) yang baru selesai, lanjut memproduksi mixed hydroxide precipitate (MHP) terus meningkatkan produksinya, dan konversi NPI menjadi nikel matte terus meningkat.
Dalam presentasinya, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (Sekum APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengungkapkan, sebanyak 86% dari volume kandungan Ni yang diproduksi oleh smelter-smelter di Indonesia diekspor dalam bentuk NPI dan FeNi. Antara 80-90% volume NPI dan FeNi diekspor ke China, yang menggunakan indeks harga Shanghai Metal Market (SMM) (lebih rendah dari indeks LME).
Meidy memaparkan, Indonesia perlu membuat indeks harga nikel sendiri dengan beberapa alasan yang mendasar. Salah satunya, ada gap atau kesenjangan yang tidak konsisten dalam perbedaan harga LME dan harga pasar untuk produk nikel (NPI). Pada 2018, perbedaannya berkisar 0% hingga 20%, tetapi pada awal 2022, perbedaan mencapai 40%.
“Sebagai pemain penting dalam industri nikel, Indonesia perlu membuat indeks sendiri untuk memastikan pasar produk nikel tidak hanya mengacu pada satu indeks. Indeks baru ini juga dapat digunakan untuk kebijakan nasional Indonesia, seperti pungutan ekspor dan formula harga bijih nikel domestik,” ujar Srikandi Nikel Indonesia ini.
Ia juga menjelaskan, Pemerintah Indonesia sudah memberlakukan tata kelola dengan sistem entri tunggal yang disebut Sistem Informasi Mineral dan Batu Bara Antar-Kementerian/Lembaga (Simbara) untuk meningkatkan tata kelola sumber daya alam di sektor minerba.
“Simbara merupakan bentuk sinergi antarkementerian untuk tata kelola minerba yang lebih baik. Simbara berisi ekosistem pengawasan yang terintegrasi untuk semua aplikasi pengelolaan dan pengawasan serta muara data minerba. Sistem ini mengintegrasikan proses mulai dari identitas tunggal wajib pajak dan wajib bayar, proses perizinan pertambangan, rencana penjualan, verifikasi penjualan, pembayaran PNBP, serta ekspor dan pengangkutan atau pengapalan, dan hasil ekspor,” paparnya.
Ia juga memaparkan kondisi bisnis dan penjualan nikel saat ini, sinergisitas antarkementerian dan lembaga yang berwenang untuk membuat tata kelola nikel lebih baik.
Selain itu, yang tak lupa dijelaskan juga investasi hilirisasi yang membuahkan hasil yang baik dalam penerimaan negara. Posisi Indonesia sebagai eksportir utama produk hilir logam nikel terus menguat dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah kebijakan hilirisasi dan pelarangan ekspor bijih nikel diterapkan.
Ekspor baja nirkarat, baik dalam bentuk slab, HRC, maupun CRC, menyentuh angka US$10,83 miliar pada 2022. Nilai ekspor ini meningkat 4,9% dari 2021 yang sebesar US$10,32 miliar. Berdasarkan data worldstopexport pada 2022, Indonesia merupakan eksportir HRC pertama di dunia dengan nilai US$4,1 miliar.
“Pada 2022, nilai ekspor feronikel mencapai US$13,6 miliar, meningkat 92% dibandingkan dengan nilai ekspor pada 2021 sebesar US$7,08 miliar. Nilai ekspor nikel matte juga melonjak hingga 300%, dari US$0,95 miliar pada 2021 menjadi US$3,82 miliar pada 2022,” katanya.