NIKEL.CO.ID, 7 JUNI 2023 – Indonesia Nickel Price Index (INPI) menjadi wacana yang hangat dibicarakan oleh para pihak yang berkepentingan, baik pemerintah maupun para pengusaha pertambangan nikel dalam negeri.
Banyak para pihak yang setuju dan mengusulkan agar Indonesia mempunyai standar harga dalam negeri sendiri yang selama ini pemerintah menggunakan patokan harga internasional, yaitu London Metal Exchange (LME) untuk menentukan komoditas harga nikel.
Pemerintah selama ini dalam menentukan HMA (Harga Mineral Acuan) dan HPM (Harga Patokan Mineral) nikel masih berdasarkan tren rata-rata harga nikel di London Metal Exchange (LME).
Hal itu berdasarkan Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri ESDM yang diterbitkan setiap bulan. HMA nikel adalah harga logam nikel dalam cash seller and settlement yang dipublikasikan London Metal Exchange (LME) rata-rata dari tanggal 20 dua bulan sebelum periode HPM sampai tanggal 19 satu bulan sebelum periode HPM.
Hal ini tertuang dalam regulasi mengenai pengenaan royalti nikel dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 11 Tahun 2020. Indeks harga ini untuk mengurangi selisih harga dari nilai aktualisasi penjualan nikel dengan harga patokan mineral (HPM) yang selama ini mengacu pada rata-rata harga nikel di pasar LME.
Dalam database Media Nikel Indonesia – nikel.co.id, salah satu usulan lahir dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) yang berharap Indonesia memiliki harga patokan nikel atau INPI di dalam negeri sendiri.
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, berharap Indonesia bisa lebih independen dalam menentukan angka-angka HPM Nikel. Dia beralasan bahwa Indonesia merupakan negara penghasil sumberdaya dan cadangan nikel terbesar dunia.
“Saat ini Indonesia bukan hanya sebagai negara pemilik cadangan nikel terbesar dunia, namun juga produsen dan supply chain terbesar di dunia untuk produk olahan bijih nikel,” kata Meidy.
Oleh karenanya dengan modal itu Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia untuk komoditas nikel. Banyak sumber daya bijih nikel, dan unsur logam lainnya, yaitu mangan dan kobalt yang dimiliki sehingga mampu menguatkan bargaining position (posisi tawar) Indonesia di tingkat internasional. Jadi sudah sepantasnya Indonesia memainkan peranan dalam mengontrol harga nikel dan olahan nikel dunia.
Menurutnya, APNI tidak hanya mendukung inisiasi Pemerintah Indonesia membentuk Organization of The Nickel Exporting Countries (ONEC). Indonesia harus bergandengan tangan dengan negara-negara penghasil nikel lainnya.
“Ke depan, Indonesia juga harus mempunyai Indonesia Nickel Prices Index. Jadi tidak bergantung lagi dengan salah satu negara dalam penentuan indek harga nikel di dalam negeri,” jelasnya.
Selain itu, dia memaparkan, selama ini dalam penentuan HMA sebagai dasar perhitungan HPM Nikel di dalam negeri, pemerintah masih mengacu kepada salah satu bursa di Eropa, yang dihitung berdasarkan rata-rata tren harga nikel di bursa itu selama dua bulan ke belakang.
Sehingga, ia menyayangkan ketika pemerintah menetapkan HPM Nikel di dalam negeri yang mengacu kepada bursa di negara itu potongannya sampai 45%.
“Saat ini Indonesia mempunyai power. Indonesia sudah waktunya mempunyai Indonesia Nickel Prices Index. Ini bisa menjadi usulan juga bagaimana kita membentuk ONEC, bahwa salah satu negara boleh menentukan harga komoditas nikel sendiri,” paparnya.
Meidy juga menjelaskan, selama ini smelter di Indonesia yang memproduksi NPI dan FeNi menjual produknya menggunakan basis Shanghai Futures Exchange (ShFE) di mana sebesar 45%-nya berbasis dari LME, jika Indonesia sudah mempunyai Nickel Price Index dan hanya membebankan 20%, maka masih memberikan keuntungan pihak smelter.
“Sehingga penambang nikel tidak ditekan harga jual bijih nikel ke smelter,” jelasnya.
Selain APNI, usulan INPI juga datang dari Founder Indonesia Institue for Mineral and Metal Industry (IM2I), Dr. Raden Sukhyar yang menyatakan bahwa bisa saja Indonesia lepas dari bayang-bayang LME dalam penentuan perhitungan HPM Nikel.
Tidak hanya itu, dia juga sangat setuju bila Pemerintah Indonesia membuat indeks harga nikel sulfat yang dibutuhkan untuk bahan baku baterai listrik.
“Nikel sulfat dicari produsen di dunia. Maka, seharusnya sudah ada indeks harga untuk nikel sulfat,” kata Raden Sukhyar kepada nikel.co.id via telepon, Jumat (20/1/2023).
Menurutnya, Coal Index juga sudah mewacanakan untuk membuat indeks harga nikel sulfat. Karena, dia menilai, nikel sulfat ada unsur premium yang mempunyai nilai tinggi.
“Jika bicara nilai premium, berarti sudah masuk business to business. Maka menjadi penting untuk distandarkan nilai premium tersebut,” tegasnya.
Sementara, Sekretaris Jenderal Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Resvani, mengungkapkan, harga pasaran nikel indeks LME lebih tinggi ketimbang harga nikel domestik yang berbasis feronikel.
Harga jual dari feronikel antara penambang dan pelaku usaha smelter berada jauh di bawah LME. Kondisi tersebut, menurutnya memicu penambang untuk membayar royalti yang lebih tinggi hingga 40% akibat selisih yang muncul dari harga jual riil feronikel dari LME yang digunakan sebagai acuan penentuan tarif royalti.
“Jika menggunakan LME sebagai patokan HPM maka akan terjadi over royalti. Intinya pengusaha terbebani royalti yang tinggi,” kata Resvani dikutip katadata.
Tentunya, hal itu secara paralel akan mengerek harga nikel domestik yang dijual ke perusahaan smelter, terutama bagi para pelaku usaha smelter yang tidak terintegrasi dengan tambang nikel.
“Kalau ketinggian harganya maka smelter akan beli nikel mahal, maka pasti keuntungannya menurun,” tuturnya.
Para pelaku usaha pertambangan nikel selama ini telah meminta pemerintah untuk segera merealisasikan pembentukan indeks harga nikel Indonesia sebagai acuan transaksi nikel di pasar domestik.
Mereka melihat, adanya indeks harga nikel Indonesia mampu memangkas selisih harga pembayaran kewajiban royalti yang lebih tinggi dari transaksi riil. Sejauh ini, tagihan royalti mengacu pada HPM yang merujuk pada rata-rata harga nikel di pasar LME.
Sedangkan dari pihak pemerintah sendiri pun sudah merespon dengan baik wacana INPI ini. Hal ini tampak pada pernyataan Menteri ESDM, Arifin Tasrif, yang mengatakan, urgensi pembentukan indeks harga nikel Indonesia atau Indonesia Nickel Prices Index sebagai instrumen transaksi jual-beli nikel di pasar dalam negeri, seperti dikutip katadata.
“Indeks itu akan menjadi acuan harga penjualan nikel domestik yang didominasi oleh nikel kelas dua, seperti nickel pig iron (NPI), feronikel hingga nikel matte yang menjadi bahan baku pembuatan stainless steel,” kata Arifin Tasrif.
Menurutnya, fungsi indeks harga nikel Indonesia akan mirip dengan skema harga batu bara acuan yang mengatur besaran kewajiban tarif royalti pelaku usaha batu bara di dalam negeri.
“Hal ini supaya ada standar, sama seperti harga acuan batu bara,” ujarnya.
Untuk harga nikel jenis nikel kelas satu menjadi acuan di bursa LME yang merupakan bahan baku kendaraan listrik. Sementara di dalam negeri, Arifin mengatakan, pengaturan khusus soal harga acuan nikel dalam negeri dapat menekan kekhawatiran pelaku usaha pertambangan maupun pemilik pemurnian mineral (smelter) terhadap fluktuasi harga nikel di pasar LME.
Dia melanjutkan, indeks harga nikel Indonesia diyakini mampu memberikan kepastian terkait harga nikel nasional karena mengacu pada perhitungan domestik.
“Kalau tidak ada indeks, itu pasti akan ada yang menekan. Biasanya pembeli adalah raja, jangan sampai ada raja-rajaan,” lanjutnya.
Sejalan dengan Arifin Tasrif, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan, indeks harga nikel Indonesia dapat menjadi instrumen yang mengatur transaksi nikel dalam negeri. Pemerintah saat ini sedang berpikir untuk memiliki tempat sendiri supaya bisa mengatur harga nikel itu.
“Kita juga pingin atur harga sendiri, masak LME yang mengatur harga nikel kita,” kata Luhut. (Shiddiq)