Beranda Politik Eddy Soeparno Setuju Pembentukan ONEC, Tapi Persoalan Tambang Harus Diselasaikan

Eddy Soeparno Setuju Pembentukan ONEC, Tapi Persoalan Tambang Harus Diselasaikan

3598
0
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eddy Soeparno. Foto. Nikel.co.id

NIKEL.CO.ID, 23 MEI 2023-Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno menyatakan kesetujuannya atas usulan Pemerintah Indonesia membentuk Organization of The Nickel Exporting Countries (ONEC). Namun, masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan di sektor pertambangan.

Eddy Soerparno mengatakan, gagasan Pemerintah Indonesia ingin membentuk Organization of The Nickel Exporting Countries (ONEC) boleh-boleh saja. Namun, pemerintah harus menggandeng semua asosiasi tambang nikel di Indonesia, dan semuanya harus solid.

Menurut Eddy, semakin kita solid, maka akan semakin memiliki daya tawar yang lebih tinggi. Jangan sampai nanti kita hanya menjadi junior partner di dalam sebuah asosiasi atau perhimpunan penambang nikel internasional. Karena Indonesia sebagai negara yang memiliki deposit nikel terbesar dunia, maka harus memainkan peran yang signifikan di tingkat internasional.

“Saya kira idenya bagus. Bagaimana pun juga networking tidak pernah ada ruginya,”kata anggota DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional ini kepada nikel.co.id, belum lama ini.

Eddy mengungkapkan, di tengah gagasan pembentukan ONEC, pemerintah juga harus membenahi berbagai persoalan di sektor pertambangan. Di antaranya penanganan ilegal mining. Menyangkut perkara ini, Komisi VII DPR RI telah membentuk Panitia Kerja Ilegal Mining.

Panja Ilegal Mining mengusulkan ada lembaga khusus yang memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan di lapangan.

“Keberadaan lembaga khusus ini sangat penting. Jika dalam menangani kasus ilegal mining harus koordinasi, misalnya, dengan inspektur tambang atau dengan pihak keamanan, tentu prosesnya panjang.  Dan itu membutuhkan effort dan kerja ekstra keras,” tukasnya.

Eddy menjelaskan, salah satu tujuan utama Panja Ilegal Mining, yakni bagaimana akan adanya Direktorat Jenderal Penegakan Hukum di Kementerian ESDM. Kedua, Komisi VII DPR melihat begitu banyak laporan tentang masalah ilegal mining yang keluar, namun penindakan hukum di lapangan masih lemah.

“Karena itu, kita minta perlu ada penegasan dari aparat penegak hukum, kementerian, dan stakeholders  terkait supaya ada satu kasus penegakan hukum yang betul-betul ditindak secara tegas dan konsekuen. Supaya ada efek jera terhadap pelaku ilegal mining lainnya,” Ia menekankan.

Eddy menyebut, perkara ilegal mining di seluruh Indonesia sekitar 3.000 kasus. Mulai dari kasus besar, sedang, dan kecil. Perkara ilegal mining terjadi di sektor batu bara, nikel, timah, dan pertambangan lainnya.

“Karena itu, biarkan kami bekerja. Biarkan nanti Panja Ilegal Mining melahirkan sebuah rekomendasi, yang tujuannya sebenarnya supaya terjadi penegakan hukum di lapangan, khususnya dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan,” imbuhnya.

Tak hanya ilegal mining, Eddy juga menyorot persoalan tata kelola pertambangan dan larangan ekspor raw material mineral logam. Dirinya mengibaratkan antara tata kelola pertambangan dengan larangan ekspor seperti ayam dan telur.

“Tata kelolanya dulu yang dibenahi atau larangan ekspor dulu yang harus dilaksanakan. Jangan lupa, selain adanya larangan ekspor raw material timah, akan ada izin ekspor untuk mineral lain, seperti bauksit pada bulan Juni 2023. Sampai sekarang belum ada perpanjangan dari izin ekspor tersebut.

Sementara perusahaan-perusahaan harus membuat RKAB. Bagaimana membuat RKAB, jika hanya diberikan kesempatan untuk ekspor di tahun depan,” tuturnya.

Dirinya mengutarakan, bagaimana pun juga pembangunan smelter harus dilanjutkan. Pemerintah juga harus bisa membuat sebuah neraca perdagangan yang akurat. Karena,  jika kita tidak bisa memprediksi berapa pemasukan yang didapatkan dari ekspor salah satu komoditas mineral dengan setelah adanya larangan ekspor komoditas tersebut.

“Saya kira, apapun namanya, solusinya harus cepat. Dari aspek peraturan, harus dikeluarkan secara cepat. Mengenai penanganan persoalan, juga harus ditangani cepat. Jika  kita tertunda dalam mengeksekusi berbagai hal justru mengakibatkan kerugian nilai ekonomi yang sangat tinggi. Belum lagi nanti nilai image yang dihasilkan, seperti  “ada toleransi” atau kita bersifat permisif terhadap hal-hal  ilegal,” paparnya. (Syarif).