Beranda Berita Nasional Menilik Ketersediaan Baterai dalam Program Subsidi Kendaraan Listrik

Menilik Ketersediaan Baterai dalam Program Subsidi Kendaraan Listrik

1278
0
Ilustrasi: Kendaraan listrik. Foto: Nikel.co.id

NIKEL.CO.ID, 2 Januari 2023-Pemerintah sedang bersemangat mendorong pemakaian kendaraan listrik (electric vehicle) di dalam negeri untuk mengurangi emisi karbon yang dihasilkan kendaraan konvensional berbasis Bahan Bakar Minyak (BBM). Bagaimana ketersediaan baterai di dalam negeri?

Untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik di dalam negeri, pemerintah berencana akan memberikan subsidi kendaraan listrik. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, pemerintah berencana memberikan subsidi pembelian motor listrik dengan rentang kisaran Rp 6 juta sampai dengan Rp 6,5 juta.

“Makanya segera ini, sekarang mobil listrik kita luncurkan dengan subsidi. Sepeda motor kita lagi finalisasi berapa juta kita mau kasih subsidi. Mungkin Rp 6 juta, kalau di Thailand mungkin Rp 7 juta. Kalau kita mungkin Rp 6,5 juta atau berapa kira-kira berkisar segitu,” kata dia dalam agenda Permata Bank, dikutip Rabu (30/11/2022).

Luhut menjelaskan penggunaan kendaraan berbasis listrik akan menghemat dana untuk pembelian bahan bakar minyak (BBM). Sehingga, dia menyarankan kepada masyarakat untuk membeli kendaraan listrik.  Selain itu, penggunaan kendaraan listrik juga meminimalisir kualitas udara akibat polusi dari kendaraan berbahan fosil atau BBM.

Ia bilang, sampai saat ini para produsen kendaraan mulai kewalahan karena banyaknya pemesanan pembelian kendaraan listrik tersebut. Sementara, untuk motor listrik masih harus menunggu tahun depan.

Luhut menyerukan, “Belilah nanti mobil-mobil EV, walaupun sekarang kita kewalahan. List-nya itu sudah enam bulan antre karena masalah chip. Kalau sepeda motor, nanti kalau sudah tiba nanti tahun depan, mulai ganti saja dengan motor listrik nanti akan dapat subsidi.”

Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan

Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang sempat menyebut subsidi motor listrik direncanakan sekitar Rp 8 juta dan mobil listrik sekitar Rp 80 juta per unit. Sementara untuk program konversi motor konvensional ke motor listrik Rp 5 juta.

Sedangkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) justru lebih mendorong pemberian subsidi pada program konversi dari motor berbasis BBM menjadi motor listrik. Dia mengungkapkan, manfaat yang diberikan dari konversi motor konvensional menjadi motor listrik akan lebih besar, yakni dari sisi pengurangan emisi, mengurangi konsumsi dan impor BBM, dan banyak dipakai pada masyarakat di pelosok Indonesia.

“Kalau ESDM sendiri, kita majunya ke konversi motor tua aja, karena ini yang bisa mengurangi BBM, mengurangi emisi, dan manfaatnya juga, motor tua ini kan banyak dipakai masyarakat di pelosok-pelosok,” ungkapnya di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (23/12/2022).

Arifin membeberkan, berdasarkan data perhitungan Kementerian ESDM, biaya konversi motor tua menjadi motor listrik sebetulnya lebih dari Rp 5 juta. Dia menilai, nilai ideal untuk subsidi motor konversi adalah sekitar Rp 7 juta-Rp 9 jutaan.

“Sanggupnya masyarakat untuk nombok, kebutuhan biayanya untuk konversi sekitar Rp 12 juta hingga Rp 14 juta. Kalau Rp 5 juta (subsidi), gap-nya itu antara Rp 7 juta sampai Rp 9 juta,” tuturnya.

Arifin bilang, jika subsidi konversi lebih banyak, maka akan semakin bagus.

Ketersediaan Baterai Kendaraan Listrik

Semangat pemerintah dalam mendorong masyarakat menggunakan kendaraan listrik patut diapresiasi. Namun, harus diimbangi dengan ketersediaan baterai sebagai penggerak kendaraan listrik.

Lithium Marketing Director ABC Battery, Hermawan Wijaya, mengakui perusahaannya masih mengimpor material sel baterai lantaran belum ada pabrik yang memproduksi bahan baku untuk sel baterai yang dibutuhkan ABC.

“Untuk material, kita membutuhkan beberapa material metal, namun saat ini industrinya belum ada di Indonesia. Mayoritas material yang dibutuhkan pabrik sel baterai lithium ABC pasokannya dari industri luar negeri,” kata Hermawan kepada nikel.co.id di Jakarta, belum lama ini.

Hermawan mengatakan, material yang dibutuhkan untuk industri sel baterai lithium memang mayoritas ada di Indonesia. Bahan tambang yang terkandung di tanah Indonesia punya potensi material cukup besar untuk memenuhi kebutuhan industri sel baterai lithium.

Hanya ia menyayangkan material yang diproduksi baru sebatas refinery atau masuk ke smelter. Namun, masih ada beberapa tahapan proses yang belum bisa menyambung ke sel baterai. Karena belum ada industri yang memproduksi material untuk sel baterai.

“Padahal Indonesia mempunyai material copper, aluminium, besi, nikel, mangan, dan kobalt. Namun, Indonesia belum mempunyai industri yang mengolah material tersebut hingga menjadi sel baterai. Industri kimia ini lah yang bisa memproses bahan baku yang dibutuhkan oleh industri sel baterai,” tuturnya.

“Kita masih mengimpor material baterai sel seperti ferro, aluminium foil, karena baterai ABC saat ini masih berfokus memproduksi baterai berbasis lithium ferro phospate (LFP). Jadi prekursornya membutuhkan lithium fero, grafit, hingga cashing. Itu semua industrinya tidak ada di Indonesia. Itu problemnya,” paparnya.

Ia menyampaikan bahwa perusahaan baru memproduksi sel baterai lithium di 2022. Perusahaan sedang mencoba produk sel baterai mensasar industri battery pack untuk kendaraan roda roda dua, roda tiga, maupun roda empat.

Lithium Marketing Director ABC Battery, Hermawan Wijaya

Hermawan menerangkan, sel baterai LFP ABC tegangan listriknya hanya 3,2 volt. Jika butuhnya 48 volt, akan diberikan sebanyak 15 sel baterai LFP. Atau untuk kebutuhan 480 volt, akan diberikan sebanyak 480 sel baterai LFP. Untuk tahap pertama, perusahaan memproduksi 1.500-an sel baterai yang selanjutnya akan diproses menjadi battery pack.

Pemasaran Gesits segmen Retail dan Business to Business (B to B) untuk kawasan Batam, Sumardi meminta pemerintah harus hadir dalam pemenuhan kebutuhan baterai listrik. Dibentuknya holding BUMN Indonesia Battery Corporation (IBC), diharapkan dapat menjawab kebutuhan baterai untuk kendaraan listrik di Tanah Air. Sehingga produsen kendaraan motor listrik, seperti Gesits dapat menggunakan baterai produk dalam negeri.

Sumardi menjelaskan, Gesits merupakan merek sepeda motor listrik buatan anak bangsa yang diproduksi PT WIKA Industri Manufaktur (WIMA). Gesits merupakan terobosan baru, karena menghadirkan kendaraan listrik ramah lingkungan. Tingkat TKDN mungkin paling tinggi di kelas produk lokal, mencapai 46,73% tingkat lokal kontennya.

Sumardi berharap ke depan di Indonesoa dapat dikembangkan beberapa model baterai, seperti  NCM (nikel, cobalt, dan mangan), ada juga LFP (lithium iron  phospate), serta lithium titanit.

“Dari beberapa keluarga lithium ion ada beberapa pilihan. Masing-masing memiliki keunggulan dan kekurangan. Yang paling utama adalah power-nya berbanding lurus dengan motor. Contoh, ada baterai yang bisa memberikan waranti  bisa 3.000 kali di-cash. Namun, dari segi power-nya agak sedikit berkurang,” ungkapnya.

Menurutnya, pada beberapa manufaktur di luar negeri, komponen baterai bisa dikombinasikan, antara NMC dengan LFP dalam satu pack. Kombinasi itu memungkinkan, hanya saja semua itu tergantung kebutuhan.

Di waktu berbeda, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, mengutarakan, salah satu perusahaan yang ada di Indonesia adalah pabrik baterai ABC, pabrik baterai terbesar di Indonesia sampai sekarang. Mereka masih menggunakan teknologi lithium ferro phospate (LFP).

“Padahal ABC berada di negara yang memiliki sumber daya mineral nikel yang terbesar di dunia. Seharusnya pabrik baterai ABC menjadi perusahaan pertama yang menjadi pioneer yang melakukan produksi perdana nikel nickel, mangan, cobalt (NMC) di Indonesia yang merupakan negara terkaya mineral nikel,” tutur Meidy.

Sementara produk olahan bijih nikel seperti NPI dan MHP, selama ini diproyeksikan untuk ekspor. Karena itu, dia meminta pemerintah mendukung pabrik pengolahan bijih nikel membagi kuota untuk ekspor dan suplai ke lokal.

“Contoh suplai ke pabrik baterai ABC atau pabrik-pabrik baru yang nanti berproduksi baterai,” imbaunya.

Meidy juga meminta pemerintah mendorong industri dalam negeri untuk material sel baterai. Sampai sekarang, di Indonesia baru sampai pada tahapan proses pembuatan katode, belum ke anode.

Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey

Ia menyampaikan, pemerintah sedang menjajaki kerja sama dengan Argentina dan Australia untuk menyuplai bahan baku baterai. Namun, dia menekankan, kerja sama yang dibangun Indonesia dengan negara tersebut perlu diperjelas untuk kolaborasi pemenuhan suplai bahan baku anode.

“Sehingga, kita bukan hanya memproduksi NMC atau baterai katode, tapi anodenya juga, sehingga full menjadi baterai murni buatan Indonesia,” katanya.

Meidy berpandangan, jika Indonesia sudah mengolah bijih nikel hingga ke produk baterai kendaraan listrik, hal ini pula keinginan yang ingin dicapai Presiden Joko Widodo untuk memberikan nilai tambah nikel. Sehingga kebijakan pemerintah menghentikan ekspor bahan mentah nikel benar-benar ada manfaatnya untuk Indonesia. (Tim).