Beranda Ekonomi Harita Nickel Lakukan Cara Ini untuk Memaksimalkan SHP

Harita Nickel Lakukan Cara Ini untuk Memaksimalkan SHP

2524
0
Direktur HSE PT TBP, Tonny H. Gultom. Foto: Istimewa

NIKEL.CO.ID, 8 Desember 2022-Direktur PT Trimegah Bangun Persada (TBP), Tonny H. Gultom mengatakan, Harita Nickel Group tak hanya mementingkan bisnis dari aktivitas produksi pertambangan dan hilirisasi. Namun, korporat juga memperhatikan hingga pascatambang dan produksi.

PT TBP merupakan salah satu anak usaha Harita Nickel Group yang melakukan aktivitas pertambangan nikel saprolit dan limonit di Pulau Obi bagian barat Maluku Utara seluas 4.274 hektare. Sedangkan PT Gane Permai Sentosa (GPS), juga anak usaha Harita, konsesinya seluas 1.276,99 hektare.   

Bijih nikel  tersebut disuplai kepada pabrik pengolahan peleburan dan permurnian milik perusahaan yang berada di satu kawasan. Harita Nikcel Group telah membangun anak usaha PT Megah Surya Pertiwi (MSP) dalam pengelolaan pabrik pirometalurgi dengan teknologi rotary klin electric furnace (RKEF), pada 23 Juni 2016.

Pabrik ini memiliki empat line yang mengolah saprolit yang menghasilkan feronikel 240.000 MT. Dengan rincian,  sebanyak  203.667 MT feronikel di 2021 dan September 2022 sebesar  130.816 MT feronikel.

Kedua, PT Halmahera Jaya Feronikel yang telah melakukan commissiong pada 18 Oktober 2022 untuk pabrik pengolahan mineral bijih nikel, dengan delapan jalur pabrik pengolahan mineral bijih nikel dengan kapasitas 780. 000 MT feronikel per tahun.

Harita Group juga sudah membangun pabrik hidrometalurgi dengan teknologi high pressure acid leach (HPAL). Menurut Tonny, pengolahan nikel kadar rendah (limonit) menggunakan teknologi hidrometalurgi-HPAL merupakan indusri pionir di Indonesia.  Energi yang digunakan pabrik hidrometalurgi lebih rendah, di mana energi panas dihasilkan dari reaksi pembakaran sulful menjadi SO2 dan reaksi konversi SO2 menjadi SO3 untuk menghasilan steam. Panas yang dihasilkan dari proses perubahan SO2 menjadi SO3 digunakan dan dialirkan menuju tungku Autoclave, Pre Autoclave, dan peleburan belerang.

Pabrik hidrometalurgi tersebut dibangun oleh PT Halmahera Persada Lygend (HPL). Pabrik ini telah beroperasi sejak Juni 2021. Mengolah nikel kadar rendah di bawah 1,5% yang selama ini hanya diperlakukan sebagai overburden.

Tonny menyebutkan, kapasitas input bijih nikel limonit kadar di bawah 1,5% sebesar 7.600.000 WMT per tahun. Produk yang dihasilkan adalah Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Pada 2021 pabrik ini memproduksi 85.283 WMT MHP dan September 2022 sebanyak 146.715 WMT MHP.

“Produk MHP selanjutnya akan diolah menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat untuk bahan baku prekursor baterai kendaraan listrik. Korporat sedang merancang pembangunan pabrik yang memproduksi nikel sulfat (NiSO4.6H2O) dan kobalt sulfat (CoSO4.7H2O), mudah-mudahan pada akhir 2023 sudah bisa beroperasi. Proyeksinya pabrik ini akan memproduksi 247.000 ton nikel sulfat per tahun dan kobalt sulfat 32.000 ton per tahun,” paparnya.

Memaksimalkan SHP

Tonny mengungkapkan, operasional pabrik RKEF maupun HPAL akan menghasilkan sisa hasil pengolahan (SHP) dari pabrik. SHP dari pabrik RKEF milik Harita Group rata-rata 6,7 slag nickel juta ton per tahun, dan 44,5 juta slurry per tahun dari HPAL.  

“Kami tetap memperhatikan SHP. Slag nickel dari RKEF setelah kami olah sekarang statusnya di KLHK sudah non-B3. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang telah mendukung dalam pengelolaan SHP, sehingga mampu kami kelola lebih optimal,” kata Tonny kepada nikel.co.id di sela acara seminar di Bandung, baru-baru ini.

Pemaksimalan SHP yang dilakukan korporat, dicontohkan Tonny, misalnya,  pengisian lubang tambang pembuatan batako dan jalan, campuran bahan bangunan, media tanam, dan absorben.

“Untuk drytail kami lakukan dengan teknologi filter press. Sedangkan untuk pengisian lubang tambang dengan metode dry stacking atau dam tailing. Cara ini membutuhkan tempat cukup besar. Karena itu, kami mengimbau daerah yang menjadi tempat pertambangan menyediakan juga tempat untuk pengisian SHP,” jelasnya.

Tonny mengutarakan, pengelolaan SHP yang dilakukan Harita Group sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor  6 Tahun 2021 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.

Tonny memahami, Pemerintah Indonesia sedang mengencangkan program hilirisasi untuk memberikan nilai tambah bijih nikel. Harita Group, termasuk anak-anak usahanya, mendukung program pemerintah tersebut.

Ia mengungkapkan, tantangan pengolahan dan pemurnian nikel di Indonesia. Pertama, hilirisasi memerlukan investasi yang besar. Capex RKEF  berkisar US$ 900- US$ 1500 per ton NPI (Ni 10-12%). Nilai investasi untuk proses hidrometalurgi antara US$2,800 – US$ 3200 per ton MHP. 

“Dikarenakan nilai investasi yang besar, maka mencari pendanaan finansial bukan perkara mudah,” ungkapnya.

Kedua, pengolahan nikel kadar rendah memerlukan teknologi sangat berbeda dari pengolahan nikel melalui teknologi pirometalurgi. Ketiga, refinery atau smelter yang tidak memiliki suplai ore di sekitar pabrik harus menanggung biaya tinggi dari proses pengangkutan yang jumlahnya besar. 

“Operasi pertambangan nikel kami dekat dengan pabrik pengolahannya, sehingga tidak terlalu menimbulkan masalah yang besar,” imbuhnya.

Kemudian keempat, masih menurut Tonny, nikel kadar rendah yang diolah menjadi produk antara MHP marketnya belum banyak di Indonesia, sehingga masih diekspor ke negara lain. Karena itu, produk MHP masih harus diolah lagi menjadi nikel sulfat dan kobalt sulfat untuk menjadi prekusor baterai kendaraan listrik. Dengan demikian, dibutuhkan investasi tambahan.

“Selain itu, masih menjadi tantangan bagaimana industri dalam negeri dapat memenuhi kebutuhan komponen baterai listrik yang 100% diproduksi di dalam negeri,” ujarnya.

Selanjutnya tantangan kelima, pengolahan nikel menghasilkan SHP yang besar, lebih dari 90%. Dengan demikian penempatan SHP memerlukan tempat yang luas dan juga biaya operasional tambahan. (Shiddiq/Syarif)