Beranda Pemerintahan Presiden Teken PP 26 Tahun 2022, Ini Pandangan APNI Soal Royalti Nikel

Presiden Teken PP 26 Tahun 2022, Ini Pandangan APNI Soal Royalti Nikel

2510
0

NIKEL.CO.ID, 22 Agustus 2022- Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Menyoal PNBP nikel, ini pandangan APNI.

Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 15 Agustus 2022. PP ini mulai berlaku setelah 30 hari terhitung sejak tanggal diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara, Pratikno yang juga ditandatangani pada 15 Agustus 2022.

Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022 diberlakukan dengan pertimbangan bahwa untuk melakukan penyesuaian jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang Berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Karena itu, perlu mengatur kembali peraturan pemerintah tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

“PP Nomor 26 Tahun 2022 yang terdiri dari sepuluh pasal ini menjelaskan ketentuan dan besaran jenis dan tarif atas PNBP dari komoditas SDA di Indonesia, termasuk nikel sebagai salah satu komoditas mineral logam,” kata Meidy Katrin Lengkey.

Hal ini, diutarakan Meidy, bisa dilihat pada Pasal 1 ayat (1), yang menyatakan Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berasal dari penerimaan:
a. Pemanfaatan sumber daya alam;
b. Pelayanan bidang energi dan sumber daya mineral;
c. Penggunaan sarana dan prasarana sesuai dengan tugas dan fungsi;
d. Denda administratif; dan
e. Penempatan jaminan bidang energi dan sumber daya mineral.

Kemudian, lanjutnya di ayat (2) menyatakan, Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki jenis dan tarif sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan pemerintah ini. Selanjutnya ayat (3) berbunyi, tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk penerimaan dari iuran produksi/royalti dan penerimaan iuran produksi panas bumi serta huruf d untuk denda administratif berupa harga komponen pembentuk tarif dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan pemerintah ini mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meidy juga memaparkan Pasal 2 ayat (1) poin a lebih menegaskan bahwa jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) kecuali huruf c, selain yang tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan pemerintah ini, berupa:
a. Bagian pemerintah pusat sebesar 4% (empat persen) dari keuntungan bersih pemegang izin usaha pertambangan khusus dan izin usaha pertambangan khusus sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian untuk mineral logam dan batubara.

Disampaikan Meidy, terkait ketentuan dan besaran jenis dan tarif atas PNBP bijih nikel berkadar di atas 1,7 persen berdasarkan PP Nomor 26 Tahun 2022 tidak berubah, sama seperti regulasi sebelumnya, yakni sebesar 10 persen per ton dari nilai harga jual. Namun, untuk bijih nikel berkadar di bawah 5 persen PNBP 2 persen per ton dari nilai harga jual.

Jika bijih nikel itu sudah diolah dan dimurnikan oleh smelter, besaran PNBP tergantung jenis produk olahan nikel tersebut. Untuk NPI, misalnya, PNBP sebesar 5 persen per ton dari nilai harga jual. Sementara nickel matte/ferro nickel, nickel oksida/nickel hidroksida, nickel MHP/nickel HNC/cobalt hidroksida/cobalt sulfide/krom oksida/logam krom/mangan oksida/magnesium oksida/magnesium sulfat, besaran PNBP 2 persen per ton dari nilai harga jual.

“Khusus untuk logam nikel besaran PNBP 1,5 persen per ton dari nilai harga jual,” imbuhnya.

PP ini memberikan ruang fleksibelitas untuk windfall profit produk nickel matte jika harga jualnya di bawah 21.000 dolar AS per ton, maka PNBP sebesar 1 persen per ton dari nilai jual.

Meidy menambahkan, khusus PNBP dari penambang nikel di hulu sebesar 10 persen, ketentuan ini mengacu kepada mekanisme Free On Board (FOB), bukan berdasarkan Cost, Insurance and Freight (CIF). Sehingga, penambang nikel tidak menanggung biaya lagi di pelabuhan bongkar, ketika tongkang sudah sampai di pelabuhan yang dituju. Karena penambang nikel selain membayar PNBP, yaitu royalti sebesar 10 persen, juga dikenakan PPh Badan Usaha 1,5 persen untuk negara.

“Ketentuan ini sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Mineral Logam dan Batubara,” jelasnya.

Menurutnya, skema FOB ini mengacu ke hasil verifikasi di terminal muat oleh surveyor yang disepakati bersama oleh penambang nikel dan smelter. Dengan demikian terjadi efisiensi karena verifikasi hanya dilakukan sekali saja, dwelling time terminal bongkar menurun, cashflow penambang lebih cepat, sehingga ketergantungan terhadap trader berkurang, selain itu menghindari terjadinya kasus reject yang merugikan penambang. (Syarif)

Artikulli paraprakDibayangi Hawkish Fed AS, Harga Nikel Terguncang
Artikulli tjetërIndonesia Harus Siap-siap Mengantisipasi Krisis Global