
NIKEL.CO.ID, 24 Mei 2022-Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mendukung program digitaliasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika ke wilayah pertambangan melalui eksisting jaringan backbone fiber optik. Diharapkan dapat memecahkan semua persoalan yang dihadapi para pelaku hulu dan hilir nikel, khususnya di area yang saat minim sarana IT.
Hal itu dikatakan Sekretaris Jenderal APNI, Meidy Katrin Lengkey dalam Mining Talks bertema: Digital Technology to Enhance Efficiency and Productiviy, Selasa (24/5/2022).
Dalam diskusi tersebut, Koordinator Jaringan Telekomunikasi Kemenkoinfo, Aditya Iskandar dan Chief Digital & Technology Officer PT Golden Energy Mines Tbk, Himawan Setiadi, mengatakan pentingnya pembangunan digitilasisi untuk membantu berbagai aktivitas saat ini. Selain untuk efisiensi juga membantu meningkatkan produktivitas perusahaan.
Kemenkoinfo, seperti disampaikan Aditya Iskandar, sedang mengembangkan eksisting jaringan backbone fiber optik yang tersentral hingga ke kawasan-kawasan pertambangan.
“APNI mendukung langkah Kemenkoinfo dan pihak-pihak yang expert di bidang IT, apalagi saat ini kita sedang menuju renewable energy. APNI sedang semangat mengajak para pelaku industri pengolahan nikel dari negara lain masuk ke Indonesia untuk prosesing baterai listrik,” kata Meidy.
Menurut Meidy, Indonesia dikaruniai nikel yang melimpah untuk renewable energy sebagai bahan baku baterai listrik. Karena itu, harus didukung ekosistem yang mumpuni, salah satunya digitalisasi.
“Sejak beberapa tahun terakhir, kita melihat pertambangan sudah menuju ke sistem digitalisasi melalui online. Kewajiban-kewajiban para penambang nikel ke negara termasuk semua pelaporan perusahaan melalui sistem online,” ungkapnya.
Hanya menurut Meidy, pemerintah pusat belum begitu siap menangani sistem sentralisasi online untuk menangani semua urusan dari 34 provinsi. Contohnya, sistem Online Single Submission (OSS) yang diterapkan Kementerian Investasi/BKPM, masih banyak yang harus dibenahi.

Meidy mengatakan, bagi pelaku penambang nikel, sistem digitalisasi dapat membantu monitoring dan controlling semua aktivitas perusahaan. Karena, owner atau direksi perusahaan tidak setiap hari memantau situasi yang terjadi di kawasan pertambangan. Mereka hanya menerima laporan dari staf di lapangan.
“Laporannya macam-macam, bahkan sampai sampai ada laporan adanya pencurian spare part alat-alat berat, kendaraan, hingga pengiriman stock file bijih nikel dari area pertambangan ke pelabuhan yang berkurang jumlahnya dari empat ribu ton menjadi dua ribu ton,” paparnya.
Dirinya juga menyinggung semakin menjamurnya penambangan lahan koridor. Kondisi seperti ini tidak hanya mengakibatkan terjadinya kerugian sumber cadangan alam dan kerugian terhadap penerimaan negara. Dengan banyaknya areal yang tak bertuan, di situlah terjadi penambangan-penambangan illegal.
“Kondisi seperti ini menjadi concern APNI untuk mendukung pemerintah, sehingga monitoring dan controlling bukan hanya dari pemerintah tapi juga langsung dari pelaku penambang. Karena, masalah ini bukan hanya di hulu, tapi juga di hilir,” tukasnya.
APNI berharap dapat berkolaborasi dengan pemerintah melalui pengembangan digititalisasi di kawasan pertambangan.
“PR bagi pemerintah dan yang expert di bidang IT, pertama, bagaimana membuat suatu teknologi yang user familiarity. Kedua, bagaimana memaksimalkan kondisi di lapangan dengan suatu sistem yang terkoneksi untuk urusan regulasi, aturan pemerintah, termasuk kewajiban-kewajiban kami ke negara,” sarannya. (Syarif)