Beranda Berita Nasional Sederet Harta Karun RI, Tak Perlu Utang Ribuan Triliun Lagi!

Sederet Harta Karun RI, Tak Perlu Utang Ribuan Triliun Lagi!

550
0

NIKEL.CO.ID – Indonesia dianugerahi beragam sumber daya alam dan tambang yang melimpah. Mulai dari batu bara, nikel, tembaga, bauksit, emas, timah, bahkan hingga logam tanah jarang (rare earth element) pun ada di bumi Pertiwi ini.

Sumber “harta karun” yang melimpah ruah ini sangat disayangkan bila tidak dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan negeri ini. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun beberapa kali sempat menginstruksikan kabinetnya untuk tidak lagi menjual “tanah air” alias komoditas mentah, melainkan harus bernilai tambah alias dilakukan proses hilirisasi terlebih dahulu sebelum dijual atau diekspor keluar negeri.

Bila pemerintah konsisten untuk melakukan hilirisasi tambang dan menghentikan ekspor barang mentah, maka penerimaan negara bisa jauh berlipat dari saat ini.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan, saat ini Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor pertambangan mineral dan batu bara sekitar Rp 40 triliun per tahun. Namun, bila industri hilir tambang berkembang, maka penerimaan negara bisa melesat hingga Rp 1.000 triliun per tahun.

“Pemerintah mendapatkan manfaat dari industri pertambangan karena Penerimaan Negara Bukan Pajak Minerba setiap tahunnya rata-rata Rp 40 T. Kalau ditambahkan industri pengolahannya, kontribusi Rp 1.000 triliun per tahun, industri pertambangan dan industri pengolahannya sangat signifikan,” jelasnya.

Dia menegaskan, industri pertambangan menumbuhkan ekonomi secara nasional. Namun demikian, menurutnya manfaat tidak hanya dipetik oleh pemerintah saja, tapi juga bagi masyarakat.

“Kami menegaskan bahwa kegiatan pengembangan masyarakat ini upaya industri pertambangan bahwa industri ini sejahterakan, ini investasi jangka panjang,” paparnya.

Bila ini terjadi, maka pemerintah tidak perlu berjibaku menerbitkan utang baru dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) setiap tahunnya.

Pada 2020, SBN netto yang diterbitkan sebesar Rp 1.173,7 triliun, berdasarkan Peraturan Presiden No. 72 tahun 2020. Sementara pada 2021, SBN neto dalam UU APBN ditargetkan mencapai Rp 1.207,3 triliun.

Jumlah utang pemerintah memang terus meningkat setiap tahun, di mana sebelumnya rasio utang ada di bawah 30% terhadap PDB dan kini sudah menembus 40%.

Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani berujar bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB akan kembali melonjak pada 2022. Kisarannya berada di 43,76-44,28% terhadap PDB.

Indonesia patut bersyukur karena diberikan “harta karun” tambang beragam dan bahkan berjumlah hingga miliaran ton untuk masing-masing komoditas.

Berikut daftar “harta karun” tambang RI yang dirangkum CNBC Indonesia:

1. Batu Bara

Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, Indonesia merupakan pemilik cadangan batu bara terbesar ketujuh di dunia yakni mencapai 34,87 miliar ton, status hingga akhir 2020.

Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), status per Juli 2020, jumlah sumber daya batu bara RI mencapai 148,7 miliar ton dan cadangan 39,56 miliar ton.

Tahun ini produksi batu bara Indonesia ditargetkan mencapai 625 juta ton, namun sekitar seperempatnya digunakan di dalam negeri, mayoritas untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dan selebihnya diekspor.

Pemerintah kini mendorong hilirisasi batu bara, antara lain berupa gasifikasi batu bara yakni mengubah batu bara kalori rendah menjadi Dimethyl Ether (DME) untuk menggantikan LPG, lalu methanol, kokas, petrokimia, dan lainnya.

2. Nikel

Indonesia merupakan pemilik cadangan nikel terbesar di dunia.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020 dalam booklet bertajuk “Peluang Investasi Nikel Indonesia”, Indonesia disebut memiliki cadangan logam nikel sebesar 72 juta ton Ni (nikel). Jumlah ini merupakan 52% dari total cadangan nikel dunia yang mencapai 139.419.000 ton Ni.

Data tersebut merupakan hasil olahan data dari USGS Januari 2020 dan Badan Geologi 2019.

Sementara untuk bijih nikel, berdasarkan data Kementerian ESDM tahun 2020, total sumber daya bijih nikel mencapai 8,26 miliar ton dengan kadar 1%-2,5%, di mana kadar kurang dari 1,7% sebesar 4,33 miliar ton, dan kadar lebih dari 1,7% sebesar 3,93 miliar ton.

Adapun cadangan bijih nikel mencapai 3,65 miliar ton untuk kadar 1%-2,5%, di mana cadangan bijih nikel dengan kadar kurang dari 1,7% sebanyak 1,89 miliar ton dan bijih nikel dengan kadar di atas 1,7% sebesar 1,76 miliar ton.

Memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, membuat Indonesia menjadi incaran banyak pihak asing. Pasalnya, bijih nikel bisa diolah menjadi baterai untuk kendaraan listrik hingga bahan baku kendaraan listrik itu sendiri.

Nilai tambahnya pun tidak perlu diragukan lagi. Berdasarkan pemaparan Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Percepatan Pengembangan Industri Sektor ESDM Agus Tjahajana pada webinar awal bulan ini, pengolahan bijih nikel kadar rendah (limonit) menjadi nikel sulfat, maka nilai tambahnya menjadi 11,4x. Kemudian, bila diproses lebih lanjut ke precursor, maka nilai tambahnya menjadi 19,4x.

Kemudian jika diproses lagi menjadi katoda, maka nilai tambahnya menjadi 37,5x dan saat diproses menjadi produk yang paling hilir berupa sel baterai, maka nilai tambahnya menjadi 67,7x.

Sementara bijih nikel kadar tinggi (saprolit), setelah diproses menjadi feronikel, maka nilai tambahnya menjadi 4,1x. Lalu jika diproses lagi menjadi nikel sulfat, maka nilai tambahnya menjadi 5,7x.

Selanjutnya, jika diproses menjadi precursor, maka nilai tambahnya menjadi 9,6x, diproses lebih hilir lagi menjadi katoda nilai tambahnya menjadi 18,6x, dan terakhir saat menjadi produk cell (sel baterai), maka nilai tambahnya menjadi 33,6x.

3. Tembaga

Indonesia merupakan pemilik “harta karun” tembaga yang melimpah, bahkan menduduki peringkat ketuju terbesar di dunia.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengolah data USGS 2020, Indonesia memiliki cadangan logam tembaga (Cu) sebesar 28 juta ton atau menguasai 3% dari total cadangan dunia yang mencapai 871 juta ton Cu.

Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian ESDM 2020, total cadangan bijih tembaga Indonesia mencapai 2,63 miliar ton dan sumber daya sebesar 15,08 miliar ton. Adapun produksi bijih tembaga sebesar 100 juta ton per tahun.

Dengan asumsi produksi sebesar 100 juta ton per tahun, cadangan bijih tembaga RI bisa mencapai 25 tahun atau hingga 2045. Namun ini bisa meningkat ketika eksplorasi terus dilanjutkan, sehingga jumlah cadangan terbukti semakin bertambah.

Perlu diketahui, tembaga sangat berperan besar dalam komponen baterai hingga mobil listrik. Berdasarkan data Asosiasi Tembaga Dunia atau International Copper Association, kebutuhan tembaga dunia untuk kendaraan listrik diperkirakan akan melonjak hingga 1,74 juta ton pada 2027 dari 185 ribu ton pada 2017.

Lonjakan kebutuhan tembaga dunia ini tak lain karena perkiraan meningkatnya pemanfaatan kendaraan listrik menjadi 27 juta unit kendaraan listrik pada 2027, naik dari 3 juta unit pada 2017. Selain itu, setiap unit peralatan pengisi daya (charger) kendaraan listrik ini juga akan meningkatkan kebutuhan tembaga sekitar 0,7 kg atau 8 kg untuk fast chargers.

4. Timah

Berdasarkan data Peluang Investasi Timah Indonesia 2020, cadangan timah Indonesia merupakan terbesar ke-2 di dunia, yakni 17% dari total cadangan timah dunia, setelah China yang menguasai 23% cadangan timah dunia.

Setelah Indonesia, ada Brazil yang menguasai 15% cadangan timah dunia, lalu Australia 9%, dan Bolivia 8% dari cadangan timah dunia.

Total cadangan timah dunia pada awal 2020 tercatat sebesar 4,74 juta ton logam timah, di mana Indonesia tercatat sebesar 800 ribu ton logam.

Sementara dari sisi sumber daya, sumber daya timah RI tercatat mencapai sekitar 2,88 juta ton logam dan 10,78 miliar ton bijih timah.

Tak hanya menguasai cadangan terbesar kedua di dunia, Indonesia juga merupakan produsen timah terbesar kedua yakni 22%, setelah China yang mencapai 47% dari produksi dunia.

5. Logam Tanah Jarang

Indonesia ternyata memiliki “harta karun” super langka bernama logam tanah jarang atau rare earth element. Komoditas ini dinamai logam tanah jarang karena didasarkan pada asumsi yang menyatakan bahwa keberadaan logam tanah jarang ini tidak banyak dijumpai. Namun pada kenyataannya, LTJ ini melimpah, melebihi unsur lain dalam kerak bumi.

Sayangnya, Indonesia belum menggarap, baik eksplorasi maupun eksploitasi logam tanah jarang ini. Padahal, dunia berlomba-lomba mencari komoditas ini karena manfaatnya yang luar biasa di era modern saat ini.

Logam tanah jarang merupakan bahan baku peralatan berteknologi canggih, mulai dari baterai, telepon seluler, komputer, industri elektronika hingga pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/ Angin (PLTB). Selain itu, bisa juga untuk bahan baku kendaraan listrik hingga industri pertahanan atau peralatan militer.

Adapun negara pemilik cadangan terbesar logam tanah jarang di dunia yaitu China. Tak hanya itu, China bahkan produsen logam tanah jarang terbesar di dunia. Namun selain China, ada beberapa negara lainnya yang juga memiliki cadangan besar logam tanah jarang ini, antara lain Amerika Serikat, Rusia, Asia Selatan, Afrika bagian selatan, dan Amerika Latin.

Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Eko Budi Lelono mengatakan, di Indonesia ada tiga potensi mineral yang mengandung logam tanah jarang, di antaranya dari pertambangan timah dan sudah dikonfirmasi keberadaannya. Lalu, dari tambang bauksit dan ketiga dari nikel scandium.

Dia mengatakan, Badan Geologi Kementerian ESDM sudah melakukan survei mengenai LTJ sejak 2009 sampai dengan 2020. Namun sayangnya, belum seluruh wilayah Indonesia disurvei karena keterbatasan sumber daya.

“Kalau kita lihat logam tanah jarang di Indonesia, ada di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dengan berbagai endapan,” ungkapnya dalam Closing Bell CNBC Indonesia, Kamis (09/09/2021).

Dia menjabarkan, di Tapanuli, Sumatera Utara terdapat sumber daya LTJ sebesar 20.000 ton. Lalu, di Bangka Belitung ada mineral monasit yang mengandung logam tanah jarang, dan monasit ini dijumpai bersama endapan timah dengan sumber daya sekitar 186.000 ton.

Mengutip tradingeconomics, harga salah satu unsur logam tanah jarang yaitu neodymium di pasar pada akhir Agustus lalu tercatat sekitar 770.927 yuan China (CNY) per ton atau setara Rp 1,71 miliar per ton (asumsi Rp 2.221 per CNY).

Harga neodymium ini terlihat meningkat sejak awal 2021 di mana pada awal tahun harga berada di kisaran CNY 620.551 atau sekitar Rp 1,38 miliar per ton. Bahkan, pada Oktober 2020 harganya hanya sekitar CNY 423.810 atau sekitar Rp 941 juta per ton.

Harga ini memang sangat jauh berbeda bila dibandingkan harga batu bara di mana harga batu bara per ton kini meski sudah tinggi di kisaran US$ 160 per ton atau “hanya” Rp 2,3 juta per ton.

Sumber: CNBC Indonesia

Artikulli paraprakKementerian ESDM Sebut Ada 2.741 Tambang Liar Ada di RI
Artikulli tjetërGegara Pembatasan Pasokan Listrik di China, Harga Nikel Jatuh Lagi