Kejati Sultra tengah memetakan dan menelusuri semua perusahaan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan terkait pemenuhan kewajiban mereka terhadap negara.
NIKEL.CO.ID – Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara tengah memetakan dan menelusuri semua perusahaan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan atau IPPKH terkait pemenuhan kewajiban mereka terhadap negara. Hal ini untuk mencegah potensi kerugian negara dari kewajiban yang tidak dibayarkan oleh perusahaan.
Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara Ahmad Yani, di Kendari, Kamis (25/2/2021), menuturkan, pihaknya saat ini tengah menyelidiki potensi kerugian negara dalam hal pemanfaatan kawasan hutan (PKH) untuk pertambangan. Dari proses yang berlangsung, ditemukan adanya potensi kerugian negara Rp 151 miliar dari satu perusahaan.
”Nilai itu bersumber dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) untuk penggunaan kawasan hutan. Saat ini telah diterbitkan surat perintah baru dengan target pemulihan keuangan negara. Saat ini izinnya sudah dicabut. Namun, sebelumnya bagaimana, ya, itu yang harus dipertanggungjawabkan,” kata Yani.
Perusahaan yang wajib membayar PNBP kawasan hutan adalah mereka yang memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Nilai PNBP berdasarkan luas kawasan hutan yang dipakai dalam pertambangan.
Menurut Yani, tim di lapangan sedang bekerja memetakan potensi kerugian negara dalam hal penggunaan hutan secara menyeluruh. Hal itu meliputi memeriksa dokumen dan mengecek hingga pemerintah pusat terkait pembayaran PNBP dan izin lengkap perusahaan.
Berdasarkan data supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018, total ada 50 perusahaan pertambangan yang memiliki IPPKH di Sultra. Mayoritas perusahaan ini meminjam kawasan hutan untuk pertambangan nikel dan sebagian lainnya untuk emas atau aspal.
Nilai potensi kerugian negara sebesar Rp 151 miliar itu untuk satu perusahaan saja. Untuk yang lainnya, masih dalam penyidikan.
Sebanyak 23 IPPKH atau sekitar 46 persen di antaranya berlokasi di Kabupaten Konawe Utara. Selebihnya tersebar di Kabupaten Kolaka, Kolaka Timur, Konawe Selatan, Buton Tengah, Bombana, dan Kota Baubau.
Kepala Seksi Intelijen Kejati Sultra Alex Rahman menuturkan, penyelidikan terkait PNBP penggunaan hutan terus dilakukan secara berkelanjutan. Tim yang telah dibentuk bekerja menyelidiki tidak hanya satu perusahaan, tetapi juga semua perusahaan pemegang izin yang belum membayar kewajiban.
”Nilai potensi kerugian negara Rp 151 miliar itu untuk satu perusahaan saja. Untuk yang lainnya, masih dalam penyidikan,” kata Alex.
Selain PNBP penggunaan kawasan hutan, ujar Alex, Kejati Sultra juga tengah menggiatkan penyelidikan terkait realisasi program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) dari perusahaan. Dari proses yang berlangsung, telah ada dua perusahaan yang menitipkan dana PPM, masing-masing Rp 3,4 miliar dan Rp 1,5 miliar.
Penggunaan kawasan hutan di Sultra untuk pertambangan telah lama berlangsung. Sebagian melakukan secara legal dengan mengurus IPPKH, sementara lainnya melakukan penambangan ilegal di kawasan hutan.
Pertengahan 2020, penambangan di kawasan hutan di Blok Matarape berlangsung secara terbuka. Penambangan ilegal yang dilakukan di kawasan Langgikima, Konawe Utara, tersebut telah membuka lebih dari 100 hektar kawasan hutan. Belum ada pihak yang ditangkap dari kejadian ini. Di kabupaten yang sama, pada Maret 2020, tim dari Bareskrim Polri menyegel puluhan alat berat milik tujuh perusahaan setelah mengeruk nikel di kawasan hutan lindung.
Pada 2016, KPK juga menangkap Gubernur Sultra Nur Alam terkait korupsi pertambangan nikel. Ia lalu divonis 12 tahun penjara. Selain menerima suap, dari hasil aktivitas pertambangan yang dilakukan PT Anugrah Harisma Barakah, pihak pemberi suap, jumlah material kerusakan lingkungan mencapai Rp 2,7 triliun.
Jumlah itu merupakan akumulasi dari kerugian ekologi sekitar Rp 1,4 triliun, kerugian ekonomi Rp 1,1 triliun, serta kerugian akibat biaya pemulihan lingkungan Rp 31,03 miliar.
Nur Arafah, ahli lingkungan dari Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, menjelaskan, kerugian negara dari kawasan hutan dengan nilai ratusan miliar rupiah dari satu perusahaan terhitung sangat kecil. Sebab, bisa saja sejak awal ukuran hutan, biodiversitas, dan berbagai hal di dalam hutan tersebut telah dikurangi dalam penghitungan sebelum izin keluar.
Nilai itu juga baru dari satu perusahaan, padahal ada puluhan hingga ratusan perusahaan yang beroperasi, baik secara legal maupun ilegal. ”Yang penting untuk ditelusuri, itu sudah berjalan bertahun-tahun, kenapa baru sekarang menjadi temuan. Di mana pengawas dan orang dari kehutanan itu sendiri. Jangan sampai ini melibatkan juga oknum tertentu,” tuturnya.
Kerusakan hutan, sambung Arafah, tidak hanya merugikan secara materi. Salah satu kerugian yang paling utama adalah terjadinya kerusakan lingkungan skala besar. Hal ini berdampak buruk terhadap masyarakat hingga generasi ke depan. Oleh karena itu, pelanggaran lingkungan harus diusut hingga benar-benar tuntas.
Sumber: kompas.id