Beranda Artikel Implementasi Kebijakan Hilirisasi: Relevansi Praktik Hilirisasi Ekonomi

Implementasi Kebijakan Hilirisasi: Relevansi Praktik Hilirisasi Ekonomi

2798
0

Oleh: Pierre Bernando Ballo *)

“Dalam setiap pertemuan dengan anak-anak muda Indonesia, saya selalu menyampaikan pada mereka yang masih punya banyak kesempatan untuk selalu menjaga integritas di manapun dan apapun yang kalian kerjakan, serta tidak pernah takut untuk bermimpi dan bercita-cita setinggi mungkin.”-Jend. TNI (Purn) Luhut Binsar Pandjaitan.

PADA 2045 mendatang, Republik Indonesia akan genap berusia satu abad atau 100 tahun. Sulit untuk membayangkan kemana arah Indonesia kan dibawa. Bila kita memakai tolak ukur durasi kepemimpinan setelah berakhirnya periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo, maka kita bisa memastikan bahwa akan ada empat kali pemilihan Presiden RI lagi sebelum usia Indonesia mencapai 100 tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwasanya minimal ada dua presiden (asumsi masing-masing dua periode) yang akan memerintah dan meneruskan estafet visi Indonesia Maju 2045.

Dalam buku proyeksi penduduk Indonesia 2015–2045, diperkirakan bahwa jumlah penduduk Indonesia di tahun 2045 diperkirakan berkisar antara 311 sampai 318,9 juta jiwa. Di mana hampir 90% penduduk Indonesia menjadi kaum urban, atau tinggal di daerah perkotaan raya (super-metropolis) seukuran Jabodetabek, dengan catatan Ibu Kota Republik Indinesia sudah pindah ke Pulau Kalimantan.

Sebagai pembanding, pada 2045 itu pula jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai 9,5 miliar jiwa. Pada saat yang sama, fenomena urbanisasi akan terjadi secara masif. Urbanisasi tersebut terjadi di banyak negara berkembang (emerging countries) seperti Indonesia. 80% penduduk dunia akan menjadi kelas menengah dan tak heran apabila terjadi kompetisi yang luar biasa karena pertumbuhan jumlah penduduk (Sumarkidjo & Montratama, 2020).

Pada waktu itu terasalah bahwa penduduk yang jumlahnya besar itu justru merupakan faktor determinan/engine of growth pertumbuhan ekonomi karena tingkat konsumsi barang dan jasa penduduk Indonesia menjadi salah satu yang terbesar di dunia. Perubahan struktur yang cepat akan berpengaruh terhadap pola konsumsi, yang akhirnya bermuara pada kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi. Di sisi lain, perubahan struktur demografi penduduk Indonesia dengan jumlah penduduk usia produktif yang paling besar di Asia Tenggara juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dari kacamata produksi, juga investasi yang dilakukan semasa usia produktif.

Seperti diketahui, pada 2030–2040, Indonesia diprediksi memasuki masa “bonus demografi”, yakni jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) lebih dari usia non-produktif (berusia di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun). Pada periode tersebut, penduduk usia produktif diprediksi mencapai angka 67,9 % dari total jumlah penduduk yang diproyeksikan mencapai 297 juta jiwa (Bappenas, 2020). Agar Indonesia mampu menarik manfaat maksimal dari bonus demografi, ketersediaan SDM usia produktif yang melimpah harus disertai dengan peningkatan kualitas pendidikan dan ketrampilan, termasuk kaitannya dalam menghadapi keterbukaan pasar tenaga kerja.

Hilirisasi

Seperti yang kita ketahui, bumi Indonesia dikaruniai kekayaan mineral yang begitu melimpah seperti misalnya nikel, copper, bauksit, tin, belum lagi emas dan batubara. Tantangannya adalah bagaimana kemudian kekayaan bumi yang melimpah ini dipergunakan semaksimal mungkin dalam upaya menyokong pertumbuhan ekonomi dan mempergunakannya secara optimal dalam mendorong kesejahteraan rakyat Indonesia.

Atas dasar pertimbangan tersebut, dicanangkannyalah program HilirisasiProgram Hilirisasi adalah program yang dimaksudkan untuk mendapatkan nilai tambah produk bahan mentah, memperkuat sektor industri, dan memberi peluang usaha di Indonesia (Kemenperin, 2012). Hilirisasi dimaksudkan agar bahan mentah hasil bumi Indonesia diproses di dalam negeri sendiri, dan bukannya diekspor sebagai hasil bumi ekstraktif ke luar negeri (Kasali, 2017). Melalui Hilirisasi industri, diharapkan komoditas yang diekspor nantinya tidak lagi berupa bahan baku, tetapi sudah dalam bentuk produk turunan atau barang jadi. (Kemenperin, 2010).

Program Hilirisasi sebenarnya telah dicanangkan sejak tahun 2010. Mantan Menteri Perdagangan masa SBY, Gita Wirjawan pernah mengatakan dalam suatu forum bahwa hilirisasi menjadi suatu keharusan untuk menekan dampak serius dari penurunan harga komoditas. “Ketergantungan kita pada komoditas masih sangat tinggi, mencapai 65 persen. Ke depannya, porsi komoditas harus dikurangi dan digantikan oleh ekspor manufaktur,” ujarnya. Argumen lain datang dari Dirut PT Aneka Tambang kala itu, Alwin Syah Lubis. Ia menuturkan bahwa program hilirisasi misalnya pengolahan bauksit menjadi alumina dapat memberi nilai tambah hingga 7,4 kali lipat sehingga signifikansi hilirisasi semakin terasa dalam rangka memajukan perekonomian.

Sekalipun sudah berjalan lebih dari 10 tahun, program hilirisasi belum begitu menunjukkan dampaknya bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menkomarves Luhut B. Pandjaitan mengatakan bahwa salah satu akibatnya adalah karena sejak pertama kali dicanangkannya program Hilirisasi sampai sekarang, neraca transaksi berjalan Republik Indonesia selalu dihantui bayang-bayang defisit. Kini, Pemerintah tengah gencar melakukan hilirisasi pada produk mineral dan batubara berdasarkan amanat UU No 4 Tahun 2009 dan ditegaskan kembali dalam UU No 3 Tahun 2020 yang dibuat untuk mengembangkan dan meningkatkan nilai tambah serta manfaat dari kegiatan usaha pertambangan untuk produk tambang mineral dan batubara, demikian disebut di dalamnya.

Langkah ini langsung membuat Indonesia menjadi perhatian investor berbagai negara. Target utamanya adalah Nikel, bahan baku yang sangat penting untuk berbagai alat kebutuhan sehari-hari. Logam ini juga adalah bahan baku utama baterai lithium, yang akan menjadi sumber energi masa depan karena merupakan kompnen utama mobil listrik. Nikel diproyeksikan akan menjadi primadona bagi perusahaan-perusahaan otomotif dimanapun di seluruh dunia, merespon klausul dalam Paris Agreement yang akan membatasi jumlah kendaraan berbasis fosil atau Combustion Engine (Kemenkomarves, 2020).

Data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan bahwa hingga tahun 2020, sudah puluhan smelter beroperasi dan masih ada banyak lagi yang sudah memasuki tahap konstruksi yang seluruhnya tersebar di Jawa Timur, Banten, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Hingga tahun ini saja, smelter di Indonesia telah mampu menghasilkan produk turunan Nikel berupa Nikel Pig Iron (NPI), Ferronickel, Nickel Matte, Slab Steel, dan produk Hot Rolled Coil (HRC). serta Cold Rolled Coil (CRC).

Data lain dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa ekspor produk berbasis nikel Indonesia dari tahun 2018 ke 2019 meningkat 47,5%. Misalnya kita melihat bahwa pada tahun 2018, Indonesia mengekspor bijih nikel dengan volume 19,25 juta ton yang bernilai US$612 juta. Di sisi lain, dengan volume 3,85 juta ton, nilainya bisa menjadi US$6,24 milira ketika yang diekspor adalah nikel dalam bentuk Stainless steel. Artinya, pengolahan nikel menjadi suatu barang manufaktur alih-alih bahan ekstraktif atau komoditas dapat memberi nilai tambah jauh lebih banyak. Ini tentu akan sangat membantu neraca perdagangan Indonesia.

Namun tentunya agar tidak terjadi eksploitasi nikel berlebihan, pemerintah juga telah menyiapkan regulasi yang mengatur tata kelola nikel ke depan. Jumlah smelter dan pertambangan bijih nikel juga dibatasi. Sehingga, selain menyiapkan industri baterai Lithium yang akan bermanfaat untuk industri mobil listrik, program lanjutan mengenai proses recycle baterai lithium juga tengah dipersiapkan. Hal ini disiapkan dengan tujuan agar kekayaan alami yang dimiliki Indonesia saat ini juga bisa dinikmati dalam jangka waktu panjang, dan memberi manfaat bagi generasi-generasi selanjutnya.

Program Hilirisasi yang fokus pada pengolahan bijih nikel juga berbuah ekspor besi dan baja yang terus meningkat. Nilai ekspor besi dan baja bahkan telah melewati ekspor kendaraan pada tahun 2020. Misalnya ketika kita melihat ke tahun 2014, kontribusi ekspor kendaraan mencapai angka US$5 miliar, lalu besi baja hanya US$1,1 miliar. Sedangkan pada September 2020, ekspor besi baja Indonesia telah mencapai US$7,3 miliar dan ekspor kendaraan US$4,4 miliar. (Kemendag, 2020).

Berkaca dari keberhasilan program Hilirisasi pada produk Nikel, pemerintah tengah serius mendorong dan menyiapkan industri pengolahan mineral lain seperti bauksit, alumina serta produk-produk turunannya seperti copper. Hal ini dipercaya akan membantu pasokan material dalam negeri dan pada gilirannya dapat mengurangi ketergantungan impor. Misalnya industri alumina ini yang nantinya diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor cobalt Indonesia yang selama ini masih didatangkan dari Kongo.

Tak hanya produk mineral, pemerintah juga terus mendorong hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah dari batubara melalui gasifikasi. Salah satunya, pada tahun 2020, telah ditandatangani perjanjian kerjasama proyek industri Coal to Methanol (CTM) di Batuta Industrial Chemical Park di Bengalon, Kutai Timur yang bernilai US$2 miliar, dan menjadi tonggak sejarah bagi upaya mengurangi ketergantungan impor metanol. Metanol sendiri merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh Indonesia, salah satunya untuk implementasi program biodiesel. Selain CTM, hilirisasi batubara juga akan menghasilkan Dimethyl Ether (DME) yang bisa dimanfaatkan menjadi bahan baku LPG, sehingga bisa mengurangi impor gas kita. Proses akhir dari gas ini bahkan bisa diproses hingga menjadi pupuk.

Pemerintah juga tengah berfokus pada langkah-langkah untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT), salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air atau Hydropower. Pembangkit Listrik ini nantinya diharapkan akan menghasilkan listrik yang ramah lingkungan, dan bisa dipasok untuk kebutuhan lisrik pabrik pengolahan atau Smelter. Sehingga nantinya smelter yang ada di Indonesia dapat menjadi pabrik pengolahan yang ramah lingkungan dan dilakukan secara bertahap dan terintegrasi dengan baik di berbagai sektor.

Berbicara mengenai Sumber Daya Alam lainnya yaitu minyak, penggunaan biodiesel melalui program B30 juga dinilai signifikan menurunkan nilai imopor minyak Indonesia. Data Pertamina menunjukkan, implementasi program B20 dan B30 mampu menghemat devisa negara sebesar 43,8 triliun rupiah pada 2019 dan ditargetkan ada penghematan devisa sampai dengan 63,4 triliun rupiah dari kewajiban program B30 di tahun 2020 (Pertamina, 2020). Data tersebut didukung oleh data impor minyak yang dicatatkan oleh BPS mengalami penurunan pada nilai impor minyak tahunan sebesar 11,73% menjadi sekitar 10,33 juta ton per tahun 2020. Secara nilai, impor hasil minyak sepanjang semester I tahun 2020 turun 39,3% menjadi US$1,98 miliar (BPS, 2020). Tak sampai disitu, pemerintah juga terus meningkatkan program Biodiesel agar tak sampai di B30 saja dan tengah mempelajari kemungkinan campuran untuk naik ke atas 30%. Hal ini diharapkan dapat menjadi substitusi dari crude oil dimana Indonesia sekarang dinilai terlalu eksesif dalam hal impor crude oil (Kemenkomarves, 2020).

Dengan rencana ke depan mengenai penggunaan mobil listrik yang mengedepankan penggunaan sumber energi terbarukan (EBT) seperti hydropower, geothermal, angin, solar panel, dan lain sebagainya, diharapkan bahwa nantinya penggunaan energi fosil akan dikurangi dan digantikan dengan penggunaan energi non-fosil, sebagai wujud implementasi janji di dalam Paris Agreement. Dimana Indonesia sendiri telah berkomitmen untuj menurunkan emisi sebesar 29% pada 2030 (Sumarkidjo & Montratama, 2020).

Dengan data-data tersebut, pertanyaan yang berikutnya muncul adalah bagaimanakah segala rencana tersebut, baik yang sedang dalam proses maupun yang direncanakan kedepannya dapat dimaknai dan diimplementasikan dengan menerapkan pembangunan ekonomi berkelanjutan dan memerhatikan kondisi lingkungan bagi kemashalatan generasi mendatang. Tentu banyak tantangan kedepannya, seperti perkataan Jenderal TNI (purn) Luhut B. Pandjaitan dalam buku Satu Abad Indonesia 2045, “Masih banyak misi yang harus diselesaikan ke depan dengan tantangan-tantangannya yang pasti lebih berat dan tidak terduga. Namun, yang tidak terbantahkan adalah kenyataan bahwa ini merupakan langkah awal yang sangat baik, yang membuat saya untuk berani bermimpi lebih besar lagi. Saya tidak ingin Indonesia hanya menjadi pasar bagi produk-produk luar negeri, Indonesia harus menjadi bagian dari global supply chain.”

Pertambangan Memberi Nilai Tambah

Dikutip dari: Ferry Santoso, Kompas, Kamis, 7 Desember 2017, hal. 17.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor pertambangan memegang peran strategis untuk menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945. Pembentukan holding company BUMN melalui Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara RI ke dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum). Persero menjadi momentum penting untuk membangkitkan industri pertambangan yang memberikan nilai tambah.

Pemerintah membentuk Holding Company BUMN sektor pertambangan yang terdiri dari PT Indonesia Asahan (Persero) sebagai induk perusahaan, PT Antam (Persero) Tbk, PT Bukit Asam (Persero) Tbk, PT Timah (Persero) Tbk, termasuk mengalihkan seluruh saham milik negara pada PT Freeport Indonesia sebesar 9,36% saat ini.

Pembentukan holding company BUMN bertujuan untuk menguasai cadangan dan sumber daya mineral di Indonesia, hilirisasi produk dan kandungan lokal, serta menjadi perusahaan berkelas dunia. Penguasaan cadangan dan sumber daya mineral dilakukan dengan melakukan akuisisi sumber daya cadangan, serta eksplorasi sehingga dapat meningkatkan daya saing dengan perusahaan global.

Hilirisasi dilakukan melalui pengolahan sumber daya sehingga BUMN pertambangan akan menghasilkan produk yang menciptakan nilai tambah yang dapat berdampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebagai gambaran, bijih bauksit dapat diolah menjadi alumina dengan nilai tambah mencapai 8 kali lipat dan dapat diolah menjadi produk aluminium dengan nilai tambah 30 kali lipat. Bijih nikel yang diolah menjadi produk feronikel memiliki nilai tambah 10 kali lipat dan bahkan 19 kali lipat apabila diolah menjadi stainless steel.

Selama ini, Indonesia lebih banyak mengekspor bahan mentah produk tambang, seperti bauksit. Ironisnya, untuk memenuhi kebutuhan produk alumina, Indonesia justru mengimpor produk alumina dari Australia. Kija mampu memproduksi produk alumina, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan impor produk alumina dan menghemat devisa. Karena itu, berbagai usaha untuk menguasai cadangan menjadi industri tambang yang memiliki skala bisnis yang besar dan bernilai tambah sangat penting untuk berkompetisi secara global. Saat ini industri pertambangan di Indonesia masih jauh tertinggal dengan industri pertambangan lain di kawasan Asia Pasifik. Padahal, Indonesia memiliki sumber cadangan produk tambang yang melimpah.

Dilihat dari total produksinya, timah, bauksit, dan nikel di Indonesia termasuk yang terbesar kedua di dunia. Namun, dilihat dari total aset, jumlah BUMN yang bergerak di sektor pertambangan masih terbilang relatif rendah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pertambangan di Asia Pasifik.

Dari data yang ada, total aset PT Antam tahun 2015 mencapai 2,19 miliar dolar AS, PT Bukit Asam sebesar 1,21 miliar dolar AS, PT Inalum sebesar 1,13 miliar dolar AS, dan PT Timah sebesar 670 juta dolar AS. Di sisi lain, total aset perusahaan pertambangan, seperti BHP Billiton mencapai 124,59 miliar dolar AS dan Rio Tinto mencapai 91,56 miliar dolar AS.

Melalui Holding Company, BUMN diharapkan dapat melakukan langkah-langkah besar dan strategis untuk meningkatkan cadangan serta meningkatkan skala usaha dan nilai tambah produk industri. Misalnya, untuk memperkuat cadangan, perusahaan induk BUMN mengakuisisi saham PT Freeport Indonesia sampai mencapai 51 persen.

Selain itu, untuk mengejar program hilirisasi industri pertambangan BUMN, kerja sama investasi dengan perusahaan pengolahan tambang global untuk mengembangkan produk hilir dapat dilakukan secara efisien. Kerja sama dengan perusahaan pengolahan tambang global diharapkan juga dapat membuka pasar bagi produk hilir pertambangan nanti.

Melalui peningkatan skala dan bisnis hilir, diharapkan BUMN tambang Indonesia ke depannya dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap pendapatan nasional, baik dari penerimaan deviden dan pajak, penyerapan tenaga kerja, maupun secara komprehensif dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

References
  • Biro Komunikasi Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, 2020. Komitmen Dorong Investasi ke RI, Menko Luhut: Pemerintah Fokus Pada Omnibus Law, Industrialisasi Hilir dan Investasi Pada UKM. Diakses dari laman resmi kemenkomarves
  • Gareta, Sella P. 2020. Pemerintah Genjot Hilirisasi Industri. Diakses dari
  • Hikam, Herdi Alif, 2020. Hilirisasi Industri Bisa Genjot Ekspor. Diakses dari
  • Kementrian Perdagangan, 2020. Ekspor Impor Indonesia. Diakses dar Portal Statistik Perdagangan
  • Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2012. Hilirisasi Industri Mutlak. Diakses dari laman resmi Kemenperin RI
  • Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2018. Wujudkan Hilirisasi Industri. Kementrian Perindustrian RI
  • Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia, 2020. Presiden: Pacu dan Wujudkan Hilirisasi Industri Batu Bara. Diakses dari laman resmi Kemensesneg RI
  • Montratama, Ian & Sumarkidjo, Atmadji. 2020. Strategi Raya Menuju Satu Abad Indonesia 2045. Alumni Akabri Pertama 1970, Kata Hasta Pustaka, Jakarta.
  • Santoso, Ferry. 2018. Garap Nilai Tambah Hilirisasi. Diakses dari laman resmi kompas
  • Santoso, Ferry. 2019. Tak cukup Hanya Menggali. Diakses dari laman resmi kompas
  • Silalahi, Parulan. 2018. Peluncuran Buku Proyeksi Penduduk Indonesia 2015–2045 Untuk Pengambilan Kebijakan Berbasis Data Akurat. Kementrian PPN/Bappenas RI.
  • Sudrajat, et al. 2012. Mengawali Integrasi, Mengusung Reformasi, Pengabdian Alumni Akabri Pertama 1970. Kata Hasta Pustaka, Jakarta.
  • Wahono, Francis, 2020. Ekonomi Politik: Daulat Rakyat Indonesia. PT Kompas Media Nusantara.

*) Pierre Bernando Ballo adalah Editor of Strategi Raya Indonesia Maju 2045

Sumber: medium.com