NIKEL.CO.ID, 16 MARET 2023-Head of Mineral Division PT Asiatrust Technovima Qualiti, Hasanuddin Nurdin menyibak munculnya fenomena “back to home” pada beberapa pemain nikel, baik penambang maupun trader. Beberapa faktor yang menyebabkan pengusaha lintas bisnis (dari batu bara ke nikel) kembali lagi ke bisnis asal (batu bara) karena situasi yang terjadi belakangan ini.
Hasanuddin Nurdin menjabarkan faktor “back to home” ke bisnis asal tersebut. Pertama, adanya tindakan penertiban ilegal mining. Beberapa lokasi kegiatan ilegal mining seperti di Mandiodo, Morombo, Pomalaa, Batuputih yang menjadikan tingginya aktivitas penambangan (tambang, angkut, jual) beberapa tahun terakhir kini perlahan ditertibkan.
“Dampak dari penertiban ini produksi dan kegiatan jual beli menurun drastis, menambang maupun melakukan jual beli nikel ore menjadi tidak ekonomis lagi,” kata Hasanuddin.
Kedua, lanjutnya, untuk nikel kadar tinggi (high grade >1.7% Ni) sudah mulai sulit didapatkan. Hal ini disebabkan tingginya serapan nikel kadar tinggi oleh smelter-smelter pirometalurgi yang mulai beroperasi full dan akan terus bertambah konsumsinya hingga tahun 2024. Sedangkan teknologi hidrometalurgi masih mensyaratkan karakteristik cargo khusus limonit dengan batasan Ni (0,9-1,3%), MgO (<7%), Fe (>25%) dengan jumlah pabrik yang masih terbatas.
Ketiga, terjadi perlambatan proses administrasi RKAB pada kementrian terkait, sehingga tidak dapat dilakukan jual beli cargo. Trend terjadinya keterlambatan persetujuan RKAB cenderung terjadi pada awal tahun, hal ini berdampak pada produksi maupun penjualan yang turun drastis selama masa tunggu persetujuan RKAB.
Keempat, harga jual beli berdasarkan Permen ESDM No. 11 Tahun 2020 tentang Harga Patokan Mineral (HPM) berlaku di Free On Board (FOB) di pelabuhan muat, belum dapat diberlakukan penuh sehingga profit margin penambang masih tipis.

“Dominasi smelter masih cukup kuat dalam mengatur harga jual cargo nikel,” ungkapnya.
Kelima, fenomena klasik terhadap beda hasil analisis antara pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar menyebabkan penambang maupun trader terkena reject atau penalty di pelabuhan bongkar. Menurut Hasanuddin, hukum rimba mulai menampakkan diri, corporate-corporate besar dengan modal kuat, mulai menancapkan kaki di bisnis nikel melalui akuisisi lahan IUP maupun melakukan Join Operation Exclusive.
“Carut marut penambangan nikel sudah mulai terlihat rapi dengan gebrakan APNI dalam membantu pemerintah untuk menertibkan aktivitas penambangan ilegal dan merapikan Tata Kelola Niaga Nikel,” tuturnya.
Hasanuddin berpandangan, gairah aktivitas tambang nikel bisa dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, menurunkan nilai komersialisasi kadar nikel dari high grade (Up 1,7% Ni) menjadi middle grade (1,5-1,7% Ni) untuk konsumsi smelter teknologi pirometalurgi.
“Beberapa smelter baru yang telah beroperasi sudah mulai menerima cargo dengan level middle grade,” bilangnya.
Kemudian kedua, melakukan explorasi lanjutan, terutama pada lahan-lahan IUP yang belum beroperasi karena kesulitan pendanaan, sehingga sumber daya dan cadangan nikel dapat ditingkatkan.
Ketiga, menurut Hasanuddin, selisih beda hasil antara pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar akan menurun jika prosedur, peralatan, dan tenaga ahli surveyor ditertibkan dan tidak dimonopoli.
“Dan tentu transaksi jual beli base on FOB,” Hasanuddin menegaskan. (Syarif)