NIKEL.CO.ID, 12 MEI 2023-Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Mayjen TNI Rido Hermawan, M.Sc., mengutarakan program hilirisasi industri nikel telah digulirkan pemerintah dan sudah berjalan, namun belum berjalan dengan maksimal. Ia menyebutkan bahwa hal tersebut dikarenakan masih terdapat beberapa kendala.
Menteri ESDM, Ir. Arifin Tasrif telah menandatangani Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara, pada 30 Agustus 2019. Permen ini resmi diberlakukan sejak 1 Januari 2020.
Persis di tanggal, bulan, dan tahun Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 diberlakukan, Presiden RI, Joko Widodo mengumumkan bahwa pemerintah memutuskan melarang aktivitas ekspor raw material nikel. Nikel boleh diekspor dengan catatan, harus sudah diolah di dalam negeri dalam bentuk produk setengah atau produk jadi.
Seiring kebijakan itu, pemerintah kembali membangkitkan industri hilir untuk proses pengolahan dan pemurnian bijih nikel. Tujuannya, untuk memberikan nilai tambah terhadap komoditas mineral logam ini.
Sebelumnya, pada 2017, pemerintah juga telah membuat kebijakan larangan ekspor produk pertambangan untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, sebelum akhirnya diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020.
Ketika itu, pemerintah mewajibkan pengolahan di dalam negeri untuk produk pertambangan, , baik untuk izin baru maupun kontrak/perjanjian lama. Namun, kebijakan ini tidak berjalan mulus, karena memunculkan pro dan kontra. Lantas, bagaimana nasib kebijakan kedua pemerintah ini?
Menurut pengamatan Anggota Dewan Pengawas Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Mayjen TNI Rido Hermawan, M.S.c., program hilirisasi industri nikel di Indonesia belum berjalan dengan baik. Dia menyebutkan beberapa faktor kurang maksimalnya program hilirisasi industri tersebut.
Pertama, infrastruktur yang kurang memadai. Rido Hermawan menjelaskan, salah satu kendala utama dalam hilirisasi industri nikel adalah kurangnya infrastruktur yang memadai seperti jalan, pelabuhan, dan energi yang handal.
“Hal ini membuat biaya produksi menjadi lebih mahal dan kurang efisien,” kata Rido Hermawan.
Kedua, teknologi dan sumber daya terbatas. Untuk melakukan hilirasi, diperlukan teknologi dan sumber daya manusia yang handal.
“Sayangnya, saat ini teknologi hilirasi yang dimiliki Indonesia masih terbatas, sehingga perusahaan swasta beralih ke negara lain untuk melakukan hilirasi nikel,” ungkapnya.
Ketiga, lingkungan yang terancam. Proses hilirisasi industri nikel jika tidak dikelola dengan menerapkan good mining practice (GMP) dan environmental social and governance (ESG) sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia.
“Pengolahan nikel dapat menyebabkan polusi udara dan air, yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan potensi kesehatan yang merugikan masyarakat,” tukasnya.
Keempat, koordinasi yang buruk antara pemangku kepentingan. Menurutnya, pemangku kepentingan dalam industri nikel di Indonesia kurang erat berkoordinasi, sehingga menghambat pelaksanaan program hilirasi nikel. Koordinasi yang buruk antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat menjadi kendala besar dalam membuat program ini berjalan dengan lancar.
Rido Hermawan menekankan, untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Indonesia harus memperhatikan faktor-faktor penyebabnya.
“Banyak upaya yang bisa dilakukan, termasuk pengembangan infrastruktur, peningkatan teknologi, dan pengaturan lingkungan yang baik untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selain itu, koordinasi yang baik antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat menjadi kunci keberhasilan hilirisasi nikel yang baik di Indonesia,” sarannya. (Syarif)