Beranda Berita Nasional Muchtazar Beberkan Strategi Hadapi EU Battery Passport

Muchtazar Beberkan Strategi Hadapi EU Battery Passport

220
0
Head of Sustainability of Nickel Industries Limited, Muchtazar (Foto: Tangkapan gambar dari CNBC Indonesia)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA— Isu keberlanjutan atau environment, social, and governance (ESG) terus menjadi sorotan dalam industri nikel nasional. Mulai dari jejak karbon, keselamatan kerja hingga deforestasi, sektor ini dihadapkan pada tuntutan global agar tetap menjaga standar keberlanjutan di tengah meningkatnya aktivitas produksi.

Hal tersebut disampaikan Head of Sustainability of Nickel Industries Limited, Muchtazar, dalam wawancara live CNBC Indonesia bertema “Pelaku Usaha Nikel & Upaya Smelter Jaga Keberlanjutan Lingkungan-Bisnis”, Senin (8/12/2025).

Muchtazar menilai regulasi European Union (EU) Battery Passport dapat memberikan penilaian yang lebih objektif terhadap kinerja lingkungan dan karbon produsen nikel Indonesia, termasuk menghadapi narasi “dirty nickel” yang kerap muncul di Eropa.

https://docs.google.com/forms/d/e/1FAIpQLSduP18bwezfZTBgoUfLsyWqkK0zPBjEv6M3U5FYzhx7F6LTSQ/viewform

EU Battery Passport dapat memberikan penilaian objektif terhadap kinerja karbon dan keberlanjutan produsen nikel Indonesia,” ujar Muchtazar, dikutip Senin (8/12/2025).

Menurutnya, ratusan perusahaan nikel di Indonesia memiliki tingkat kematangan ESG yang berbeda-beda. Dengan adanya verifikasi eksternal dalam EU Battery Passport, perusahaan dengan kinerja lingkungan yang baik berpotensi memperoleh akses pasar yang lebih luas.

“Standar di Amerika kemungkinan tidak jauh berbeda. Ke depan produsen yang memenuhi standar bisa mendapatkan insentif atau premium harga,” katanya.

Tantangan ESG

Terkait tantangan utama dalam penerapan ESG, pria yang pernah mendapat kehormatan sebagai Pioner SDG 2019 itu menyebutkan tiga isu yang paling sering menjadi sorotan, yakni jejak karbon, penggunaan energi fosil, serta keselamatan kerja.

Ia juga menyoroti isu deforestasi yang sering dilekatkan pada industri nikel. Berdasarkan data Kompas dan KPK yang ia rujuk, lahan hutan yang digunakan industri nikel berkisar antara 800 ribu hingga 1 juta hektare.

“Kalau dibandingkan luas daratan Indonesia sekitar 180 juta hektare, angkanya hanya 0,5% sampai 1%,” katanya mendeskripsikan.

Tantangan sebenarnya, ujarnya menekankan, terletak pada bagaimana perusahaan mampu menyeimbangkan operasional dengan hak masyarakat, produknya dapat ditelusuri (traceability), dan standar keberlanjutan yang semakin ketat.

Satu lagi yang disinggungnya adalah dampak lingkungan industri nikel masih jauh lebih kecil dibanding kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

“Jumlah hutan yang dibuka industri nikel sampai 2023 baru sekitar 1%, tapi kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi lebih dari 10%,” katanya.

Lalu, ia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan wilayah industri, seperti Morowali dan Weda Bay, tetap mencatat pertumbuhan positif selama pandemi. Morowali bahkan mencatat pertumbuhan dua digit ketika banyak provinsi lain mengalami kontraksi.

https://event.cnfeol.com/en/event/339

Penyerapan Tenaga Kerja dan K3

Di bidang penyerapan tenaga kerja, industri nikel disebut telah membuka peluang kerja besar, melalui kawasan IMIP dan IWIP, mampu mencapai lebih dari 100 ribu pekerja, yang mayoritasnya tenaga kerja lokal.

“Jika dihitung dengan keluarga pekerja, kontraktor, dan rantai pasok, penerima manfaatnya bisa mencapai satu juta orang,” kata.

Tentu saja, hal yang tak laik dinafikan adalah penerapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Dalam aspek sosial ini, perusahaan wajib mematuhi standar nasional dan internasional, seperti ISO 45001:2018, sebuah kerangka kerja yang kokoh untuk mengelola risiko dan kesempatan yang timbul akibat K3, tempat kerja yang sehat dan aman, dan melindungi aset terpenting, yakni sumber daya manusia, dari penyakit kejiwaan dan fisik .

“Standar ini penting untuk memastikan penerapan K3 berjalan sistematis,” ucapnya.

Pesatnya perkembangan Morowali dari kota kecil menjadi kawasan industri membuat banyak pekerja lokal masuk tanpa latar belakang pendidikan yang relevan. Karena itu, edukasi mengenai bahaya kerja perlu terus ditingkatkan.

Selain ISO, regulasi Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga menjadi rujukan utama perusahaan dalam menerapkan standar keselamatan.

Rasio Kecelakaan Kerja Rendah

Meski insiden keselamatan kerja kerap menjadi sorotan publik, Muchtazar menyampaikan bahwa rasio kecelakaan kerja perlu dilihat berdasarkan skala jam kerja dan jumlah tenaga kerja industri nikel yang sangat besar.

“Dalam sustainability report kami, rasio kecelakaan kerja perusahaan masih di bawah rata-rata global,” tegasnya sambil mengingatkan bahwa penilaian publik selayaknya berbasis data, bukan sekadar pemberitaan insiden individual.

Dengan meningkatnya tuntutan keberlanjutan global, industri nikel Indonesia dinilai perlu terus memperkuat implementasi ESG untuk memastikan keberlanjutan operasional sekaligus mempertahankan kontribusinya terhadap ekonomi nasional. Sektor ini juga diharapkan mampu mendukung rantai pasok transisi energi dunia melalui praktik industri yang semakin bertanggung jawab. (Lili Handayani)