
NIKEL.CO.ID, JAKARTA- Meski ambisi kendaraan listrik terus digencarkan, Indonesia ternyata belum sepenuhnya mandiri dalam hal bahan baku baterai.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa negeri ini masih perlu mendatangkan lithium dari luar negeri untuk memproduksi baterai kendaraan listrik berbasis Lithium Besi Fosfat (LFP).
Di dunia, ada dua jenis baterai EV yang kini berkembang pesat baterai LFP yang berbasis lithium, serta baterai Nikel Mangan Kobalt (NMC).
Bahlil menuturkan, berbeda dengan nikel yang melimpah di tanah air, cadangan lithium di Indonesia sangat terbatas sehingga pasokannya harus diimpor.

“Mangan dan kobalt bisa dapatkan. Nah, sekarang kita lagi ada kerja sama dengan Australia untuk kita impor dari negara mereka tentang lithium,” ujar Bahlil dalam International Battery Summit (IBS) 2025, Selasa (5/8/2025).
Ia menambahkan, Australia menjadi pilihan utama karena jaraknya lebih dekat dibanding pemasok sebelumnya seperti Afrika. Faktor ini membuat biaya transportasi menjadi lebih efisien.
Bahkan, sejumlah pelaku usaha Indonesia sudah memiliki tambang lithium di Negeri Kanguru tersebut.

Meski begitu, Bahlil belum dapat memastikan berapa volume impor lithium yang akan dilakukan ke depannya.
“Saya belum tahu volumenya, karena saya bukan pengusaha,” katanya.
Menyadari keterbatasan pasokan lithium, Bahlil kembali menekankan pentingnya pengembangan baterai berbasis nikel di Indonesia.
Ia memperkirakan, hingga tahun 2034 kebutuhan baterai baik untuk kendaraan listrik maupun penyimpanan energi — bisa mencapai 392 gigawatt hour (GWh). (Lili Handayani)