NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah berkomitmen menggelontorkan investasi Rp730 triliun untuk mempercepat proyek hilirisasi mineral dan batu bara (minerba). Langkah ini dinilai sebagai upaya strategis untuk meningkatkan nilai tambah komoditas nasional dan memperkuat kemandirian ekonomi Indonesia.
Menurut Chairman Indonesian Mining Institute, Prof. Irwandy Arif, sektor hilirisasi telah memberi dampak signifikan terhadap pendapatan negara dan pendapatannya terus meningkat.
“Pendapatan negara sebelum ada hilirisasi sekitar Rp30 triliun, setelah hilirisasi meningkat menjadi Rp104 triliun. Kenaikannya mencapai sekitar 350%, khususnya disumbang industri nikel yang tumbuh sangat signifikan,” ungkap Prof. Irwandy dalam “Mining Zone”-nya CNBC Indonesia, Juni 2025.
Menurut Irwandy, hingga saat ini Indonesia telah memiliki puluhan fasilitas pengolahan mineral, yakni nikel 54 smelter, tembaga 4 smelter, besi 5 smelter, bauksit 4 smelter, timah 27 smelter, serta timbal dan Seng masing-masing satu smelter.
Sayangnya, katanya menambahkan, sebagian besar industri ini baru mencapai tahap produk-antara, belum sepenuhnya menghasilkan produk jadi bernilai tinggi.
“Kita baru sampai ke produk antara. Untuk nikel, misalnya, memang sudah ada yang sampai ke besi baja, tapi ada perusahaan besar yang saat ini berhenti sementara karena harga nikel turun,” katanya.
Karena itu, ia menekankan pentingnya percepatan hilirisasi, khususnya untuk komoditas seperti bauksit, tembaga, timah, dan logam tanah jarang. Indonesia masih perlu mengembangkan produksi aluminium dari alumina agar bisa memenuhi kebutuhan nasional yang mencapai satu juta ton per tahun.
“Saat ini produksi Inalum sekitar 500–600 ribu ton dan akan ditambah oleh perusahaan di Kalimantan Utara serta rencana pembangunan di Kalimantan Barat,” ungkapnya.
Untuk sektor timah, hilirisasi juga belum optimal. Produk timah masih dominan dalam bentuk batangan, padahal Indonesia berpotensi menghasilkan produk seperti tin solder, tin chemical, dan tin plate yang bernilai jauh lebih tinggi.
Prof. Irwandy menyambut baik komitmen pemerintah dalam pembentukan Badan Pengelola Investasi dan pengelolaan dana strategis bernama Danantara, yang disebut akan dikelola hingga US$1 triliun.
“Pak Prabowo menyebutkan dana antara akan lebih dari 1 triliun dolar. Dan Menteri ESDM menyebutkan untuk sektor hilirisasi saja ada alokasi sebesar US$ 45 miliar untuk 18 proyek,” jelasnya.
Salah satu proyek andalan yang akan dibiayai dari dana ini adalah pengembangan dimethyl ether (DME) dari batu bara, yang ditargetkan bisa menggantikan LPG sebagai bahan bakar rumah tangga.
Meskipun progres hilirisasi dinilai sudah “on track”, Prof. Irwandy menegaskan perlunya percepatan dan konsistensi kebijakan. Hal ini termasuk dalam mengatasi fluktuasi harga pasar serta membangun industri hilir dari produk-produk mineral yang telah diolah.
“Indonesia memiliki potensi sumber daya yang sangat besar, dengan cadangan minerba mencapai US$ 4 triliun pada tahun 2023. Namun, tanpa proses hilirisasi, nilai itu akan terlalu murah. Oleh karena itu, percepatan ini sangat penting,” pungkasnya. (Shiddiq)