

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Dewan Pengawas dan Bidang Pengembangan Kompetensi Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Rizal Kasli, mewakili Sekretaris Umum APNI yang berhalangan hadir karena masih berada di Korea Selatan, menyoroti perlunya regulasi yang stabil dan kompetitif agar sektor pertambangan Indonesia lebih menarik dibanding negara lain.
“Kalau kita bandingkan dengan negara lain, royalti kita justru lebih tinggi. Pemerintah baru saja menandatangani peningkatan royalti dan ini bisa menjadi tidak menarik bagi investor,” ungkap Rizal dalam diskusi panel yang bertajuk “Mineral Penting Indonesia & Geopolitik Global – Tren Pasar, Rantai Pasok & Efek Trump” yang diselenggarakan Fastmarkets, di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Kamis (10/4/2025).

Ia juga menekankan pentingnya memperhatikan aspek keselamatan kerja dan standar lingkungan dalam industri nikel.
“Kita mendukung transisi energi, tapi jangan sampai merusak lingkungan. Kita melihat di beberapa area terjadi kerusakan akibat standar yang rendah. Ini harus jadi perhatian bersama pemerintah dan pelaku industri,” tambahnya.
Terkait tata kelola, mantan Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhappi) itu mengatakan, APNI telah mendorong perpanjangan masa Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari satu tahun menjadi tiga tahun. Namun, ia menyoroti tantangan birokrasi yang masih belum responsif.
“Lebih dari 4.000 Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus dievaluasi dan disetujui. Kami sarankan agar dokumen RKAB tidak perlu persetujuan dari Kementerian ESDM karena dasarnya sudah jelas, seperti studi fisik, rencana reklamasi, dan pasca tambang. Tapi sampai, sekarang belum ada respons dari pemerintah,” tegasnya.

Selain itu, Rizal juga menyoroti dominasi investor asing, khususnya dari Cina, dalam industri nikel Indonesia.
“Hampir semua produk, seperti NPI, FeNi, dan Nikel Matte, kita ekspor ke Cina. Mereka yang mengendalikan produk akhirnya (end products), sementara kita justru harus mengimpor nikel berkualitas tinggi dari sana. Kami harap Kementerian Investasi dan Hilirisasi lebih agresif mendorong pengembangan industri manufaktur dalam negeri,” ujarnya.
Senada dengan APNI, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, mengungkapkan keprihatinannya terhadap beban fiskal yang tinggi bagi perusahaan tambang.

“Dalam beberapa survei, tarif pajak efektif yang dipungut pemerintah mencapai 65% dari pendapatan perusahaan. Artinya, hanya 35% yang bisa digunakan perusahaan untuk operasional. Mungkin sekarang bahkan bisa mencapai 75% atau 80%, saya tidak tahu persis,” kata Hendra.
Dia juga menyoroti perlunya kebijakan fiskal yang mendukung keberlanjutan investasi di sektor pertambangan Indonesia.
Acara diskusi panel Fastmarkets ini menjadi panggung penting untuk menyatukan pandangan di antara pelaku industri dan pembuat kebijakan, demi masa depan sektor mineral nasional yang lebih berdaya saing di tengah dinamika geopolitik global. (Shiddiq)
