Beranda Asosiasi Pertambangan APNI Soroti Tantangan Industri Nikel: Dari Regulasi hingga Beban Pajak yang Menghimpit

APNI Soroti Tantangan Industri Nikel: Dari Regulasi hingga Beban Pajak yang Menghimpit

2661
0
Sekum APNI Meidy Katrin Lengkey didampingi Korwil Maluku Utara APNI Maria Chandra Pical, Audiensi APNI dan KPK, Rabu (12/3/2025). Dok. MNI. foto by: Shiddiq

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, kembali menyoroti laporan terbaru dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait pemetaan potensi korupsi ekspor mineral logam, khususnya nikel, yang dikaji dalam studi kasus pada tahun 2023.

Dalam laporan tersebut, KPK memberikan sejumlah kesimpulan dan saran yang menurut Meidy, relevan dengan kondisi industri nikel saat ini.

Salah satu rekomendasi utama dalam laporan tersebut adalah agar Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyusun regulasi yang mengatur pengenaan royalti serta jenis atau kadar mineral ikutan yang memiliki nilai ekonomis.

Menanggapi hal ini, Meidy menekankan bahwa APNI sudah sejak tiga tahun lalu mengajukan hal serupa.

“KPK mungkin baru tahu sekarang, tapi kami di APNI sudah berteriak sejak tiga tahun lalu bahwa kami sudah memiliki produk yang jelas,” jelasnya dalam acara Audiensi APNI dan KPK di Gedung KPK Lama Jl HR Rasuna Said, Jakarta, Rabu (12/3/2025).

Menurutnya, keberhasilan pabrik pengelolaan nikel di Indonesia saat ini sudah menunjukkan hasil yang signifikan. Saat ini, terdapat 55 pabrik pengolahan nikel di Indonesia, dengan 49 di antaranya menggunakan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) untuk mengolah bijih nikel menjadi berbagai produk, seperti Nickel Pig Iron (NPI), feronickel, nickel matte, hingga stainless steel. Selain itu, nickel matte juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk baterai, yang menunjukkan potensi besar industri nikel di sektor kendaraan listrik.

“Proses pengolahan dengan teknologi RKEF ini menghasilkan produk yang dapat digunakan untuk dua sektor utama, yaitu bahan baku stainless steel dan baterai kendaraan listrik,” ujar Meidy.

“Kami juga sudah memiliki fasilitas High Pressure Acid Leach (HPAL) yang dapat mengolah bijih nikel menjadi bahan baku baterai, seperti MHP (Mixed Hydroxide Precipitate) yang menghasilkan nikel sulfat dan kobalt sulfat,” sambungnya.

Namun, meskipun teknologi dan fasilitas sudah ada, dia mengungkapkan bahwa Indonesia belum memiliki litium, bahan baku utama dalam produksi baterai lithium-ion.

“Kami sudah sampai pada produksi nikel sulfat dan kobalt sulfat untuk baterai katoda, tapi untuk menjadi baterai sepenuhnya, kami membutuhkan litium,” tambahnya.

Terkait perkembangan pasar mobil listrik, Meidy menjelaskan bahwa saat ini kendaraan listrik di Indonesia umumnya menggunakan baterai berbasis litium ferro phosfat (LFP), bukan Nickel Manganese Cobalt (NMC) seperti yang digunakan oleh merek Tesla pada seri pertama.

“Permintaan pasar terhadap mobil listrik meningkat drastis sejak teknologi baterai LFP digunakan, bahkan BYD, perusahaan mobil listrik asal China, kini menjadi pemegang pasar nomor satu kendaraan listrik di dunia,” paparnya.

Namun, selain tantangan teknologi dan bahan baku, ia juga mengungkapkan berbagai masalah tata kelola yang sedang dihadapi oleh industri nikel di Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan pajak yang dianggap memberatkan, seperti kenaikan PPN 12% yang berdampak pada harga alat berat yang termasuk barang mewah.

“Penambang nikel saat ini berkeluh kesah dengan banyaknya beban pajak dan regulasi baru. Misalnya, kewajiban menggunakan biodiesel B40 dan global minimum tax yang akan berlaku mulai awal tahun 2025, yang diperkirakan dapat mempengaruhi daya saing perusahaan nikel,” ujarnya.

Dia juga menyoroti peningkatan Upah Minimum Regional (UMR) yang mencapai 6,5% dan ketentuan terbaru terkait Devisa Hasil Ekspor (DHE), yang mewajibkan perusahaan menahan 100% DHE selama satu tahun, berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang hanya 30% selama tiga bulan.

“Harga nikel terus menurun sejak 2023, sementara biaya operasional dan produksi perusahaan bisa mencapai 30%. Penerapan DHE 100% selama satu tahun ini jelas sangat memberatkan kami,” jelasnya.

Meidy berharap agar pemerintah dapat lebih memperhatikan tantangan yang dihadapi oleh para pelaku industri nikel dan memberikan kebijakan yang lebih mendukung, khususnya pada awal tahun 2025.

“Kami berharap ada solusi dan kebijakan yang bisa meringankan beban perusahaan nikel di Indonesia, agar industri ini bisa terus berkembang dan berkontribusi pada perekonomian nasional,” tutupnya. (Shiddiq)