Beranda Berita Nasional Grita Anindarini: Hak Pekerja di Pertambangan Nikel Belum Jelas

Grita Anindarini: Hak Pekerja di Pertambangan Nikel Belum Jelas

1126
0
Deputi Direktur Program ICEL, Grita Anindarini, Rabu (12/2/2025). Dok. MNI

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Jaminan hak pekerja bagi industri pertambangan, khususnya sektor nikel, masih kurang jelas. Hal itu menjadi celah yang besar dalam perlindungan sosial bagi pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau disabilitas baru akibat kesalahan dalam pekerjaan.

Kondisi tersebut mendapat sorotan dari Grita Anindarini, Deputi Direktur Program Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) dalam diskusi kelompok terfokus atau focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan International Institute for Sustainable Development (IISD) dan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia di Wyndham Hotel, Jakarta, Rabu (12/2/2025).

Dalam FGD bertema “Menuju Rantai Pasok Nikel yang Lebih Bertanggung Jawab untuk Mendukung Transisi Energi Indonesia” itu, Grita memaparkan materi terkait jaminan hak bagi pekerja di industri pertambangan, khususnya di sektor nikel.

“Jaminan hak bagi pekerja yang mengalami kecelakaan kerja, terutama yang berujung pada disabilitas baru, masih kurang jelas. Misalnya, saat ini peraturan di Indonesia membolehkan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerja yang tidak dapat bekerja lebih dari 12 bulan akibat kecelakaan kerja. Namun, belum ada penjelasan yang memadai terkait dengan jaminan sosial bagi mereka yang mengalami PHK akibat kecelakaan ini,” ungkapnya di diskusi membahas pentingnya penguatan keberlanjutan dalam industri pertambangan nikel di Indonesia itu.

Isu lain yang juga menjadi sorotan di FGD yang dihadiri para pemangku kepentingan itu adalah soal larangan berserikat di sektor pertambangan. Larangan itu tidak hanya ditemukan pada industri nikel, tetapi juga pada sektor pertambangan lainnya. Dia menegaskan pentingnya hak pekerja untuk berserikat sebagai jaminan untuk mendapatkan kekuatan tawar (bargaining power) dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

“Larangan untuk berserikat sangat mempengaruhi kemampuan pekerja untuk memperjuangkan hak-haknya. Tanpa adanya serikat pekerja, mereka tidak memiliki saluran yang efektif untuk menuntut pemulihan atas kondisi kerja yang buruk,” tegasnya.

Pemberdayaan Masyarakat

Hal lainnya juga disinggung dalam pertemuan yang dimaksudkan sebagai momen berbagi praktik terbaik dalam standar ESG serta menghadirkan diskusi mengenai tantangan keberlanjutan dalam rantai pasok, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap regulasi.

Grita pun menyoroti perbedaan pengertian mengenai kewajiban pemberdayaan masyarakat dalam konteks ESG yang seringkali tumpang-tindih antara kewajiban dasar (mid-compliance) dan yang dianggap lebih dari sekadar kewajiban (beyond compliance).

Ia mencatat bahwa dalam beberapa regulasi daerah, seperti di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara, pemberdayaan masyarakat dalam konteks tambang nikel justru dihukum jika tidak dilaksanakan karena dinilai tidak selaras dengan peraturan.

“Di beberapa daerah, jika perusahaan tambang tidak melakukan pemberdayaan masyarakat, mereka bisa dikenakan sanksi. Namun, di sisi lain, pemberdayaan masyarakat juga dipandang sebagai langkah yang lebih dari sekadar kewajiban, bahkan di beberapa daerah dianggap sebagai bagian dari mid-compliance. Oleh karena itu, penting ada harmonisasi regulasi di antara kementerian terkait agar standar ESG dapat diterapkan secara konsisten,” jelasnya.

Diskusi ini menggambarkan pentingnya harmonisasi antara kebijakan, penguatan regulasi, serta perlindungan hak-hak pekerja dan masyarakat untuk menciptakan industri pertambangan nikel yang lebih bertanggung jawab dan mendukung transisi energi yang berkelanjutan di Indonesia. (Shiddiq)