Beranda Asosiasi Pertambangan Di Media Briefing Koaksi Indonesia, Sekum APNI Paparkan Tantangan Industri Nikel

Di Media Briefing Koaksi Indonesia, Sekum APNI Paparkan Tantangan Industri Nikel

1243
0
Sekum APNI, Meidy Katrin Lengkey (Foto: mni)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA –Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), sebagai pelaku langsung,  menegaskan bahwa penambang nikel tidak menggunakan power plant dalam proses produksinya. Penegasan tersebut disampaikan Sekretaris Umum (Sekum) APNI, Meidy Katrin Lengkey, saat memaparkan tantangan yang dihadapi industri nikel Indonesia, terutama kaitannya dengan pekerjaan hijau (green jobs), kebijakan pemerintah, dan masalah lingkungan.

Dalam acara media briefing yang bertema “Peluncuran Laporan Mineral Kritis: Mengkritik Kesenjangan Kebijakan Hilirisasi Nikel dan Peluang Penciptaan Green Jobs”, diselenggarakan Koaksi Indonesia (Coaction Indonesia), Sekum APNI menegaskan, alat berat yang digunakan oleh penambang nikel menggunakan bahan bakar, yang saat ini dihadapkan dengan aturan baru, yaitu kewajiban penggunaan B40.

“Aturan B40 ini menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi dan kita harus memikirkan secara bijaksana dampak dari kebijakan ini,” ungkap Meidy pada acara yang diselenggarakan di Aroem Jakarta, Selasa (21/1/2025).

Dia juga menyampaikan keprihatinannya terkait isu harga nikel yang sedang turun dan biaya produksi yang semakin membengkak.

“Biaya produksi semakin tinggi, sedangkan harga turun. Jika perusahaan terus memproduksi dalam kondisi seperti ini, tidak ada keuntungan, malah bisa merugikan. Kami harus berpikir secara menyeluruh,” ujarnya.

Dalam hal pekerjaan hijau (green jobs) dan kebijakan environment, social, and governance (ESG), dia menyoroti pentingnya menciptakan lapangan kerja yang berdampak positif bagi masyarakat, terutama di daerah penghasil nikel. Namun, meskipun industri nikel telah menciptakan banyak lapangan kerja, banyak masyarakat di daerah penghasil nikel yang justru mengalami penurunan daya beli dan kemiskinan.

“Kami sangat mendukung investasi, tetapi kita harus memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat lokal, karena banyak daerah penghasil nikel yang justru menjadi lebih miskin,” katanya.

Selain itu, dia juga membahas kebijakan ekspor nikel, yang menurutnya masih belum sepenuhnya memberikan manfaat bagi negara.

“Indonesia saat ini menjadi pengendali utama harga nikel dunia, tetapi kita belum sepenuhnya merasakan dampaknya dalam hal pendapatan negara,” tambahnya.

Ia juga mengkritik revisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba yang berpotensi memberikan dampak negatif pada industri.

“Kami sangat khawatir dengan dampak dari revisi UU yang sedang dibahas, dan kami dari APNI terus berjuang untuk memberikan masukan yang konstruktif kepada pemerintah,” tegasnya.

Tak hanya itu, ia juga membicarakan pentingnya sinergi antara pemerintah, asosiasi, dan pelaku industri dalam menghadapi tantangan ini. Ia mengungkapkan bahwa kolaborasi yang erat sangat diperlukan untuk menciptakan kebijakan yang lebih baik bagi sektor pertambangan nikel dan masa depan energi hijau di Indonesia. Ia berharap agar kebijakan yang diambil pemerintah dapat lebih memperhatikan aspek keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

“Kami siap berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk investor asing dan lembaga internasional, untuk memastikan bahwa industri nikel Indonesia tidak hanya berkembang, tetapi juga memberikan manfaat yang nyata bagi seluruh pihak,” ujarnya mengakhiri pembicaraan. (Shiddiq/Lily)