Beranda Desember 2024 APNI Perjuangkan Harga Kobalt Guna Tingkatkan Potensi Pendapatan Negara

APNI Perjuangkan Harga Kobalt Guna Tingkatkan Potensi Pendapatan Negara

2345
0
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey. (Dok. MNI)
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey. (Dok. MNI)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Pemahaman terhadap sumber daya alam, khususnya kobalt, merupakan hal penting. Karena, potensi yang dapat dieksploitasi melalui royalti kobalt luar biasa besar jika dihitung secara menyeluruh. Sayangnya, sejauh ini kobalt masih tidak diberi nilai alias gratis. 

Hal tersebut diungkapkan Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, pada ‘Konsinyering Analisis Potensi Komoditas Nikel sebagai Subjek Kontrak Berjangka untuk dapat Diperdagangkan di Bursa Berjangka’, yang digelar Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan RI, di Merlynn Park Hotel, Jakarta, Rabu (18/12/2024) lalu.

Kobalt digunakan dalam berbagai teknologi modern, seperti baterai litium-ion untuk kendaraan listrik dan perangkat elektronik. Unsur kimia dengan nomor atom 27 dalam Tabel Periodik Unsur Kimia ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Sayangnya, seringkali tidak diukur dengan benar dalam konteks ekonomi nasional.

Meidy mengungkapkan, sejak dimulainya pertambangan kobalt hingga proses smelting, meski upaya pemberantasan penambangan ilegal sudah dilakukan, kenyataannya masalah ini belum sepenuhnya teratasi. Bahkan, setelah adanya pembersihan terhadap aktivitas penambangan ilegal, kegiatan ilegal itu masih terus terjadi di berbagai wilayah. Penambang ilegal yang semula terkonsentrasi di satu area, kini telah menyebar ke berbagai daerah. Tentu saja, hal ini menambah kompleksitas masalah yang harus ditangani pihak berwenang.

“Kondisi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena selain merugikan negara, penambangan ilegal juga dapat merusak lingkungan dan berpotensi merugikan masyarakat sekitar,” sambungnya.

Oleh karena itu, ia menekankan, untuk mengatasi tantangan tersebut perlu penerapan sistem yang lebih efektif daripada hanya mengandalkan hukuman atau tindakan tegas. 

“Kita harus punya sistem yang dapat memantau dan mengatur aktivitas pertambangan secara lebih terstruktur,” tegasnya. 

Menurutnya, solusi yang lebih berkelanjutan adalah memasukkan transaksi dalam usaha berjangka yang melibatkan sistem yang lebih transparan dan terukur, bukan hanya mengandalkan pengawasan mata-mata.

Dengan sistem ini, diharapkan para penambang ilegal dapat terakomodasi dalam sebuah jalur yang sah dan legal, sekaligus mengurangi kerugian negara yang selama ini diderita akibat hilangnya potensi royalti dan pendapatan negara dari sektor pertambangan kobalt.

Salah satu aspek yang tak kalah penting adalah harga kobalt yang saat ini menunjukkan tren naik. Kobalt, yang dulunya dianggap “gratis” dalam banyak perhitungan, kini memiliki nilai yang sangat tinggi. Harganya per kilogram saat ini berada pada kisaran US$30-35, meskipun dapat berfluktuasi tergantung pada permintaan pasar global, khususnya dalam industri kendaraan listrik dan elektronik.

Narasi mengenai kobalt yang “gratis” ternyata sangat jauh dari kenyataan. Jika dihitung dengan benar, potensi royalti dari kobalt bisa sangat menguntungkan, terutama jika potensi cadangan dan produksi bisa dikelola dengan baik. Oleh karenanya, penting bagi negara untuk mengoptimalkan pengawasan dan pengelolaan sumber daya ini untuk meningkatkan pendapatan negara, serta memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat.

“Ada perbaikan, tapi belum maksimal. Kami di lapangan tahu betul apa yang terjadi dan upaya untuk memaksimalkan pengawasan harus terus dilakukan,” tambahnya.

Peningkatan sistem pengawasan ini diharapkan dapat mengurangi peredaran barang ilegal dan memastikan bahwa hanya hasil tambang yang sah yang masuk ke pasar. Selain itu, dengan lebih banyaknya transaksi yang dikelola melalui sistem yang terstruktur, diharapkan penambangan ilegal bisa semakin tereduksi dan potensi kerugian negara bisa diminimalisasi.

Masalah penambangan ilegal kobalt masih menjadi tantangan besar di Indonesia. Namun, dengan penerapan sistem yang lebih terstruktur dan berbasis teknologi, diharapkan dapat mengurangi kerugian negara dan meningkatkan transparansi dalam industri pertambangan. Selain itu, dengan semakin tingginya harga kobalt di pasar global, potensi royalti yang bisa didapatkan negara juga sangat besar. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk bekerja sama dalam mengelola sumber daya alam ini dengan lebih bijaksana dan efektif. (Lili Handayani)