Beranda Desember 2024 APNI Ungkap Alasan Mengapa Pemerintah Perlu Lakukan Moratorium Smelter Nikel

APNI Ungkap Alasan Mengapa Pemerintah Perlu Lakukan Moratorium Smelter Nikel

1191
0
Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno. (Dok. APNI)
Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno. (Dok. APNI)

NIKEL.CO.ID, JAKARTA– Pemerintah  Republik Indonesia (RI) kembali mengulur moratorium  pembangunan smelter nikel berbasis teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) di Indonesia. Desakan moratorium dari banyak pihak dianggap abai oleh sebagian pihak.

Moratorium smelter nikel diharapkan dapat menepis kekhawatiran terkait oversupply di pasar global yang dapat berpengaruh pada penurunan harga.

Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Djoko Widajatno mengatakan, alasan utama mengapa pemerintah harus melanjutkan proyek RKEF yaitu untuk meningkatkan nilai tambah Sumber Daya Alam.

“Salah satu tujuan utama dari proyek RKEF adalah untuk meningkatkan nilai tambah dari nikel yang diekspor. Sebelumnya, Indonesia lebih banyak mengekspor nikel dalam bentuk bahan mentah (ore), yang tidak memberikan keuntungan ekonomi maksimal. Dengan mengolah nikel di dalam negeri, Indonesia dapat menghasilkan produk yang lebih bernilai tinggi, seperti feronikel, yang dapat meningkatkan pendapatan negara dan memperkuat sektor industri,” ungkapnya kepada nikel.co.id, Senin (9/12/2024).

Lalu, lanjutnya, penciptaan lapangan pekerjaan. Pembangunan smelter dengan teknologi RKEF memerlukan tenaga kerja dalam jumlah besar, baik selama tahap konstruksi maupun operasional. 

“Ini berpotensi menciptakan ribuan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang menjadi lokasi pembangunan smelter,” jelasnya.

Diversifikasi Industri dan Ketergantungan pada Ekspor Komoditas. Indonesia ingin mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan beralih ke sektor pengolahan industri yang lebih berkembang. 

“Dengan membangun smelter berbasis RKEF, pemerintah berharap dapat mendorong terciptanya industri pengolahan yang lebih kompleks dan berdaya saing tinggi di tingkat global,” terangnya.

Selain itu, meningkatkan daya saing global. Dengan memproses nikel menjadi produk bernilai tambah, Indonesia berusaha untuk meningkatkan daya saing di pasar global. Teknologi RKEF memungkinkan Indonesia untuk memproduksi feronikel dengan biaya yang relatif lebih rendah, sehingga dapat bersaing dengan negara lain yang juga memproduksi nikel, seperti Filipina dan China.

Kebijakan larangan ekspor ore nikel. Sejak 2020, Indonesia memberlakukan larangan ekspor ore nikel untuk mendorong investasi dalam pengolahan dalam negeri. Keputusan ini bertujuan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga memiliki industri pengolahan yang dapat memanfaatkan potensi nikel secara maksimal. RKEF menjadi salah satu solusi untuk memenuhi tujuan ini.

“Dukungan terhadap pengembangan industri kendaraan Listrik (EV). Nikel adalah salah satu komponen utama dalam pembuatan baterai kendaraan listrik (EV). Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, dan pembangunan smelter RKEF dapat mendukung industri EV global, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok baterai dan kendaraan listrik. Ini juga menjadi peluang besar untuk menarik investasi asing di sektor teknologi hijau,” katanya.

Peningkatan pendapatan negara. Melalui peningkatan kapasitas pengolahan nikel dalam negeri, pemerintah dapat memperoleh penerimaan yang lebih besar dari sektor pajak, royalti, dan ekspor produk olahan, daripada hanya mengandalkan ekspor ore mentah.

“Secara keseluruhan, meskipun ada tantangan terkait dampak lingkungan dan teknis, pemerintah melanjutkan proyek RKEF karena manfaat jangka panjang yang dapat diperoleh, baik dari sisi ekonomi, ketahanan industri, maupun penciptaan lapangan pekerjaan. Pemerintah berharap proyek ini dapat mendukung transformasi ekonomi Indonesia menuju industri yang lebih maju dan bernilai tambah tinggi,” tuturnya.

Dirinya menjelaskan, sejauh ini APNI menginginkan moratorium dan sudah menyampaikan hal tersebut kepada Kementerian ESDM.

“Kita inginnya moratorium tapi kalau pemerintah ingin tetap ingin menjalankan itu silahkan, karena yang punya kuasa pemerintah,” tuturnya.

Pakar minerba atau pemerhati hilirisasi nasional, Syamsu Daliend menambahkan, moratorium smelter nikel seharusnya sudah lama dijalankan. Jadi, langkah moratorium ini dianggap sudah sangat terlambat.

“Karena apa? untuk produk yang ada saat ini nikel pig iron, ferro nikel, dan nikel matte itu sepertinya sudah cukup,” jelasnya.

Dirinya menilai, bahwa moratorium smelter nikel ini juga perlu dikaji ulang, terutama terkait dengan cadangan nikel terbatas.

Dengan cadangan nikel sebesar 5,2 miliar ton dan produksi tahunan yang direncanakan mencapai 240 juta ton, umur cadangan perlu dioptimalkan untuk memastikan keberlanjutan industri berbasis nikel di masa depan.

“Sebetulnya yang perlu ditinjau kembali itu, apakah negeri ini, bangsa ini, sudah siap dengan industrialisasi daripada produk nikel di dalam negeri. Yang notabene-nya itu, adalah, kalau secara ke kementerian, itu domainnya kementerian perindustrian,” jelasnya.

Menurut Syamsu, setiap kementerian memiliki kepentingan masing masing dan lebih mengutamakan apa yang menjadi target dari tiap kementerian. Contohnya, kementerian investasi yang lebih mengutamakan kepentingan invesatasi.

“Makanya ego sektoral. Mereka tidak berfikir tentang industri di Indonesia, nasional. Kalau menteri investasi, pengennya tetep buka terus supaya ada investasi datang. Target dia. Ya iya beda dong, makanya kan itu yang saya bilang itu selama kita ego sektoralnya itu tinggi, ya negara ini gak dapet apa apa. Dia hanya melihat dari kaca mata dia kan,” tegasnya.

Syamsu berharap, pemerintah dapat duduk bersama agar tidak terjadi ego sektoral, baik dari Kementerian ESDM, Perindustrian, Keuangan bahkan BUMN.

“Untuk mengembangkan sinergies itu memang butuh jangka panjang dan butuh pengorbanan negara yang cukup besar,” tuturnya. (Lili Handayani)