Beranda Nikel Menteri ESDM Menjawab Kesulitan Mendapatkan RKAB dan Impor Nikel

Menteri ESDM Menjawab Kesulitan Mendapatkan RKAB dan Impor Nikel

1229
0
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat membuka acara Minerba Expo 2024 di Kartika Expo, Jakarta, Senin (25/11/2024). Dok. MNI

NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah sangat berhati-hati dalam mengeluarkan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), terutama untuk komoditas nikel, dengan tujuan menjaga keseimbangan antara pasokan dan permintaan.

Pernyataan di atas diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Bahlil Lahadalia, menjawab kesulitan yang dihadapi pengusaha dalam mendapatkan RKAB saat konferensi pers acara Minerba Expo 2024, di Kartika Expo, Balai Kartini, Jakarta, Senin (25/11/2024).

“Salah satu alasan mengapa RKAB sulit diterbitkan adalah upaya untuk menjaga agar pasokan nikel tidak melebihi permintaan,” kata Bahlil.

Jika pasokan lebih banyak daripada permintaan, ujarnya, harga nikel bisa jatuh, yang tentu akan merugikan para penambang dan pelaku industri nikel di Indonesia. Pemerintah berusaha menjaga agar harga nikel tetap stabil dan tidak anjlok, terutama karena industri smelter nikel yang berkembang pesat di Tanah Air.

“Jangan sampai suplai lebih banyak daripada demand. Itu bisa menyebabkan harga jatuh,” katanya.

Ia menambahkan, jika cadangan nikel dikelola dengan bijak, selain menjaga harga, juga akan memperpanjang masa cadangan nikel di Indonesia.

“Kalau kita jorjoran, nanti habis cadangan kita,” tambahnya.

Impor Nikel

Isu lain yang hangat menjadi bahan perbincangan belakangan ini adalah impor nikel katanya semakin meningkat. Untuk itu, Bahlil, yang sebelumnya menjabat Menteri Investasi/Kepala BKPM RI ini, menegaskan, saat ini Indonesia sudah mencapai produksi nikel sebanyak 157 juta ton, sedangkan kebutuhannya pada tahun ini diperkirakan mencapai sekitar 200 ribu ton. Ia mengakui adanya impor nikel, tetapi menegaskan bahwa jumlahnya masih sangat terbatas, yakni hanya dua kapal yang berisi nikel limonit.

“Impor itu sebenarnya nggak haram. Untuk memenuhi stok bahan baku, nggak apa-apa. Tetapi, jangan sampai kita meningkatkan RKAB terlalu banyak dan menyebabkan harga jatuh,” ujarnya.

Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya untuk melindungi pengusaha smelter, tetapi juga untuk menjaga keberlanjutan bagi penambang lokal Indonesia. Jika RKAB dinaikkan terlalu tinggi dan pasokan nikel berlebih, dampaknya akan merugikan seluruh sektor, termasuk para penambang yang lebih kecil.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa impor bijih nikel telah mencapai 9 juta ton. Namun, dia menegaskan, angka tersebut masih kurang dari 10% dari total kebutuhan nasional, dan dengan demikian, impor nikel tidak akan berdampak signifikan pada pasar domestik.

“Tidak apa-apa, barang itu nggak haram. Yang penting, barang tidak dilarang,” ujarnya sambil mengatakan bahwa impor bijh nikel adalah bagian dari perdagangan internasional yang sah.

Ia juga menekankan bahwa kebijakan ekspor-impor dalam sektor nikel harus seimbang dan tidak merugikan semua pihak yang terlibat, baik itu pengusaha smelter maupun penambang nikel Indonesia.

“Pemerintah berupaya agar kebijakan yang diambil bisa menguntungkan semua pihak dan menjaga kestabilan harga serta keberlanjutan cadangan sumber daya alam,” pungkasnya. (Shiddiq)