NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Nickel Industries Limited (NIL), bekerja sama dengan PT Sumber Energi Surya Nusantara (Sesna), sedang mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas 200 MWp di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Proyek ini merupakan PLTS terbesar di Indonesia, direncanakan untuk mengurangi jejak karbon dan mendukung produksi nikel yang lebih ramah lingkungan. Penandatanganan kerja sama ini telah dilakukan pada 4 Oktober 2023.
Saat ditemui di sela-sela acara International Battery Summit (IBS) 2024 di Hotel Mulia Senayan, Selasa (30/7/2024), Head of Sustainability Nickel Industries Limited, Muchtazar, mengatakan, proyek PLTS tersebut merupakan langkah penting dalam komitmen perusahaan untuk mengurangi emisi karbon.
“Proyek ini adalah salah satu upaya kami untuk mengurangi jejak karbon, termasuk melalui kolaborasi dengan Sesna dan membuat penggunaan energi kami lebih efisien,” ujar Muchtazar.
Selain proyek besar tersebut, NIL juga telah berhasil mengoperasikan PLTS skala kecil dengan kapasitas 396 kWp di PT Hengjaya Mineralindo. Meskipun berkapasitas lebih kecil, instalasi ini telah berhasil mengurangi konsumsi bahan bakar sebesar 31 juta liter selama masa pakainya yang mencapai 25 tahun.
Keberhasilan ini menjadi pendorong bagi NIL untuk meningkatkan kapasitas PLTS di IMIP menjadi 200 MWp, yang diharapkan dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil di smelter mereka secara signifikan.
Di luar PLTS, NIL juga menjajaki berbagai sumber energi terbarukan lainnya, termasuk tenaga hidro di Sulawesi Tenggara dan tenaga angin di Sulawesi Selatan. Namun, Muchtazar mengakui bahwa pengembangan PLTS skala besar di Morowali menghadapi tantangan, terutama karena keterbatasan lahan akibat kekayaan deposit nikel di wilayah tersebut.
“Sejauh ini mungkin yang energi terbarukan yang paling besar potensinya tenaga surya. Hanya memang di Morowali ini tidak mudah untuk membuat PLTS skala besar karena Morowali ini area yang kaya nikel sehingga tidak mudah mencari wilayah untuk penempatan si PLTS ini,” paparnya.
Kemungkinan mereka akan mempertimbangkan juga untuk transisi menggunakan bahan bakar gas.
“Kita sedang kerja sama juga dengan sebuah perusahaan dan harapannya nanti kita mungkin bisa mulai mengintegrasikan penggunaan bahan bakar gas ini ke dalam operasional kami. Memang, gas ini masih bahan bakar fosil, tetapi dari sisi carbon footprint, dari sisi emission intensity, gas lebih ramah lingkungan dibandingkan batu bara,” tambahnya.
Ketika ditanya target NIL ke depannya, Muchtazar menjawab, mengupayakan transisi menuju energi gas dalam 3 tahun.
“Kalau PLTS tadi harapan kita pada 2026, hanya saja kalau boleh sedikit cerita juga, kita mungkin perlu dibantu pemerintah. Mungkin terkait dengan perizinan, dengan pembebasan lahannya juga. Karena, mungkin ada yang masuk ke wilayah areal penggunaan lain (APL),” tambahnya.
Ia mengatakan, mungkin tidak mudah untuk melakukan pembebasan lahan. Perlu ada negosiasi dan perlu ada kompensasi.
“Untuk membangun PLTS itu kita perlu bantuan juga dari sisi regulasi. Dari mitra kami, mereka secara aktif berkomunikasi dengan pemerintah untuk izin. Hanya saja memang sejauh yang saya pahami, yang kami tahu juga belum ada PLTS yang dibuat dengan kapasitas 200 MWp begini,” tutupnya. (Aninda)