
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Salah satu masalah utama di sektor mineral dan batu bara (Minerba) adalah trader. Karena itu, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel (APNI), Meidy Katrin Lengkey, meminta pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera memperbaiki tata Kelola Minerba.
“Coba lihat, trader lebih banyak dari perusahaan IUP. Kalau IUP smelter punya trader sendiri tidak ada masalah, tetapi trader yang lain itu yang tidak punya modal cukup banyak,” ungkap Meidy dalam Forum Focus Group Discussion (FGD) Kementerian Perdagangan RI (Kemendag), di The Luxton Hotel, Bandung, Jumat (5/7/2024).
Menurutnya, perusahaan trader minerba ini sangat banyak yang berasal dari berbagai sektor usaha. Perusahaan trader minerba harus memiliki Izin Pengangkutan dan Penjualan (IPP) untuk melakukan transaski pembelian maupun pengangkutan, serta penjualan komoditas tambang minerba. IPP merupakan satu dari delapan perizinan di sektor minerba, yang diajukan melalui sistem aplikasi perizinan online Kementerian ESDM yang terintegrasi dengan OSS RBA (PP No.5/2021).
“Pada saat kita mengajukan IPP kita harus melampirkan kontrak kerja sama dengan salah satu IUP yang punya Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Artinya IPP/trader hanya boleh mengambil dari IUP yang memiliki kontrak kerja sama. Dan, harusnya seperti itu,” ujarnya.
Dia mempertanyakan, mengapa trader minerba itu tidak dilakukan relaksasi sehingga mempermudah untuk mengetahui dan melacak komoditas produk barang yang didapat dan diperjualbelikan berasal dari perusahaan IUP mana. Seperti, contoh dari perusahaan A sehingga RKAB-nya dapat diketahui berapa jumlahnya.
“Jangan dicampur, seperti yang saya bilang di atas tadi, permasalahan utama ada di trader,” tegasnya.
Ia menuturkan, saat ini perusahaan smelter membeli produk terutama nikel dari para trader sehingga perusahaan tambang IUP akhirnya mau tidak mau juga menjual bijih nikel ke para trader. Bahkan ada perusahaan tambang IUP juga memiliki trader sendiri karena double digit tapi berbeda manajemennya. Namun hal ini lebih kepada trader di saat dia mengajukan IPP ia sudah harus melampirkan kontrak kerja sama dengan perusahaan tambang yang sudah mempunyai RKAB, apakah hal itu sudah terealisasi?
“Jangan dia (trader) yang tidak punya kerja sama dengan (perusahaan tambang) yang tidak punya RKAB dia dapat IPPnya, itu tidak boleh, dia lebih ilegal dari situ,” tuturnya.
Meidy memaparkan, kalau seperti itu, bagaimana kelanjutan kedepannya. Sebagai masukan APNI meminta Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenko Marves) untuk mengusulkan kepada Kementeria ESDM untuk memperbaiki persoalan trader tersebut. Karena perusahaan-perusahaan trader akan ketawan aktivitasnya pada saat Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) mulai dari penanggung jawabnya hingga tradernya.
“Trader itu pada saat kita cek, misalnya perusahaan A, dia di IPPnya koneknya di IUP yang cantik, namun pada saat ia dapat input laporan di LHP nanti, ternyata bukan si IUP cantik tapi IUP yang jelek. Ini tidak akan nyambung dan ini bisa ditelusuri dari situ dan disetujui,” paparnya.
Dia melanjutkan, kalau mau ditelusuri bijih mentahnya darimana, RKABnya dimana. Kalau istilah APNI adanya Pelaku Koridor (Pelakor), Dokumen Terbang (Dokter). Pelakor ini selalu menggunakan celah yang ada diantara IUP tapi saat ini awalnya melalui sistem koridor namun orang mengambil cara resmi yang bukan IUP atau IUP yang jelas-jelas hutan lindung.
Lalu timbul pertanyaan, mengapa Sistem Informasi Minerba antara Kementerian/Lembaga (SIMBARA) tidak terkoneksi dengan relaksasi? Ini baru di sektor penjualan. Lalu bagaimana para pelaku usaha industri hulu hingga hilir mau membeli produk penjualan dari trader jika sumber produknya itu tidak jelas. Sehingga produknya harus benar-benar diketahui dengan jelas sumbernya darimana, bukan hanya sekedar keterangan palsu.
Misalnya, ia menguraikan, trader mengaku bahwa produk nikelnya di dapat dari perusahaan tambang IUP A tapi ternyata pengambilan produknya itu dari hutan lindung namun IUP hutannya belum memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) tapi dia menyatakan sebagai Hak Pengelolaan Lahan (HPL). Sehingga perusahaan trader seperti ini akan ketawan dari awal trackrecordnya seperti apa.
“Hal ini sangat disayangkan, karena kalau kita bicara pelakor/ilegal selalu yang utama digaungkan adalah Kerusakan Hutan, Kerusakan Lingkungan. Kerusakan hutan berapa kerugiannya, konservasi berapa, kerusakan Mandiodo berapa? Jadi kerusakan hutannya dulu dihitung bukan kerusakan berapa duitnya tapi kerusakan hutan atau valuenya dulu,” urainya.
Meidy menuturkan, dalam mekanisme SIMBARA dapat diketahui nilai harga investasi dari produk hulu hingga hilir. Sebagai penambang dalam usaha perizinan hingga operasi sangat panjang melalui prosesnya. Belum lagi, dalam dunia tambang banyak pelakor yang menambang di area hutan meskipun demikian mereka tetap mempunyai kewajiban untuk membayar Jaminan Reklamasi (Jamrek) agar IUPnya bisa berproduksi di daerah RKAB. Namun, karena tidak bisa beroperasi akhrinya IUPnya dicabut.
“Jadi, Kementerian ESDM sektor Minerba mengeluarkan IUP tapi perusahaan tidak bisa berproduksi karena tidak ada kuota di IPPKH. Ujung-ujungnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak bisa memberikan izin IPPKH karena tidak bisa berproduksi kemudian investasi dicabut. Ini mungkin menjadi pertimbangan,” tuturnya. (Shiddiq)