NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Industri nikel diperkirakan akan terus meningkat di masa depan dengan berbagai indikasi dan potensi yang ada bukanlah hal yang mustahil jika pendapatan Indonesia dari sektor industri hilirisasi nikel akan mencapai Rp1.151 triliun pada 2030.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, optimis Indonesia bisa mendapatkan keuntungan dari ekspor nikel hingga mencapai US$70 miliar atau setara Rp1.151 triliun di tahun 2030.
Hal ini dia sampaikan dalam acara MINDialogue Mining Outlook 2024 yang diselenggarakan CNBC Indonesia di Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komite Tetap Mineral dan Batu Bara (Minerba)Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Djoko Widajatno, menilai bahwa Indonesia adalah negara penghasil nikel dan pemilik cadangan nikel terbesar nomor satu dunia. Ditambah dengan kebijakan ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle/EV), dan bahan baku maupun komponen pembuatan mobil EV dan baterai listrik ada di Indonesia, mulai dari nikel, alumunium, tembaga, kobalt, hingga timah.
“Ini yang membuat kita unggul dan kita mempunyai kesempatan, peluang untuk memperoleh keuntungan dari bahan-bahan terutama nikel yang merupakan bahan baku untuk prekursor yang merupakan bahan baku baterai,” sebut Djoko sebagaimana dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (26/6/2024).
Menurutnya, kalau melihat perkembangan pabrik baterai yang ada di Indonesia, PT Hyundai LG Indonesia (HLI) pada Desember 2024 sudah tidak lagi mengekspor prekursor tetapi mulai mengekspor baterai. Hal ini merupakan peningkatan yang luar biasa dan sesuai dengan cita-cita untukmenciptakan green power di Karawang. Saat ini PT HLI sudah sampai dalam tahap memulai produksi dalam pembuatan katoda, anoda hingga perencanaan assembling.
“Mudah-mudahan dengan lahirnya industri baterai di Indonesia, kita juga mendapatkan kesempatan memperoleh nilai ekspor yang tinggi. Jadi kedepan kita bisa melihat, selain untuk baterai kita juga bisa mengeskpor produk-produk sampingan dari nikel seperti stainless steel, baja yang membutuhkan nikel dan lain-lain sehingga pada 2030 kita harapkan kita bisa mencapai pendapatan yang cukup tinggi dan diharapkan di tahun emas (2045) juga kita mempunyai pendapatan sebagaimana negara-negara ASEAN lainnya,” urainya.
Selain itu, dia menjelaskan, kebijakan hilirisasi komoditas nikel yang sudah baik dan perlu dilanjutkan, serta yang perlu diperbaiki dan yang menjadi PR utama pemerintahan selanjutnya adalah masalah downstream yang membutuhkan kepastian dari fit stock yang ada.
“Sehinggga, saran saya adalah meningkatkan hilirisasi untuk menunjang industrialisasi pertama kali harus kita coba meningkatkan eksplorasi, sehingga kita mempunyai cadangan yang cukup untuk poembangunan industri yang selanjutnya,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa metal genesis (logam genesis) di Indonesia panjangnya 15 ribu km, dan baru di eksplorasi sekitar 7ribu sedangkan yang 8ribu belum di eksplorasi. Dari sektor hilirisasi telah memiliki prestasi yang cukup baik, seperti yang dicapai oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi sudah berhasil memproduksi komoditas turunan ke level produk intermediat dan PT Indonesia Weda Bay IndustrialPark (IWIP) di Maluku sudah mampu memperoduksi Mixed Hydroxed Pricipitate (MHP).
“Kita harapakan bahwa kebutuhan dasar untuk mendapatkan nikel bisa kita peroleh dari pirometalurgi dan hidrometalurgi,” ungkapnya.
Djoko memaparkan bahwa secara hilirisasi yang dilakukan oleh tambang sudah selesai, tinggal sekarang membangun konektivitas untuk industri level berikutnya. Kalau itu dicapai dalam waktu singkat Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah yang tinggi.
“Karena produk-produk yang dibuat di dalam negeri dengan menggunakan teknologi yang kita pinjam untuk sementara kita bisa mendapatkan nilai tambah terbesar dan bisa menyerap tenaga kerja, serta meningkatkan pendapatan,” pungkasnya. (Shiddiq)