
NIKEL.CO.ID, JAKARTA – Staf Khusus (Stafsus) Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Prof. Irwandy Arif, menyampaikan, perubahan iklim membuat banyak negara menuju ke transisi energi sehingga permintaan transisi energi mineral kritis meningkat.
Hal ini dia sampaikan dalam even internasional Indonesia Critical Minerals Conference 2024 (ICMC 2024) di Hotel Mulia, Jakarta pada hari pertama, Selasa (11/6/2024). Acara yang diselenggarakan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) bersama Shanghai Metals Market (SMM) merupakan kali kedua diadakan setelah di Bali tahun 2023 lalu.
“Kondisi saat ini, banyak negara mulai memperkuat upaya mereka menuju transisi energi dan ketahanan ekonomi karena dampak perubahan iklim yang memburuk. Upaya tersebut merangsang meningkatnya permintaan mineral transisi energi kritis,” sebut Prof. Irwandy dalam kesempatan tersebut.
Menurutnya, ketika permintaan meningkat, produsen mineral ini, sebagian besar negara berkembang, menentang kutukan sumber daya – sebuah paradoks di mana negara-negara kaya sumber daya gagal mengoptimalkan kekayaan alam mereka. Situasi ini menjadi tantangan kritis bagi negara-negara berkembang ini.
“Kemudian muncul pertanyaan: Bagaimana negara-negara berkembang dapat menghindari paradoks, alih-alih merekonsiliasi kerangka ekonomi mereka untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang adil, berkelanjutan, dan inklusif?” ujarnya.
Dia memaparkan, sebagai negara berpenghasilan menengah dan negara demokratis terbesar ketiga, Indonesia diposisikan secara unik di persimpangan negara berkembang. Ini memiliki peluang dan tanggung jawab untuk menjadi bagian dari model ekonomi transformatif.
“Salah satu kebijakan yang dapat menjadi perhatian utama adalah kebijakan hilirisasi mineral kritis yang tidak dapat dilakukan Indonesia,” paparnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan, terkait masa depan intensif mineral dan mineral kritis, hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan penduduk yang mencapai 1,2 kali dari tahun 2020 sebesar 7,8 dan tahun 20230 sebesar 8,5 serta tahun 2040 sebesar 9,1 hingga 2050 sebesar 9,6. Dengan jumlah global orang dengan pendapatan antara 10US$ – 100US$/hari pada 2011.
Untuk pertumbuhan kelas menengah dari tahun 2020 sebesar 3,2 dan tahun 2030 sebesar 4,3 serta tahun 2040 sebesar 5,1 hingga 2050 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,6. Dilihat dari penambahan kapasitas untuk surya, biomas, panas bumi, hdyro, kelautan, CSP, angin, hidrogen.
Kemudian dilihat dari transisi bersih – nol dari perluasan kapasitas daya terbarukan TW2 yang dihitung dari tahun 2020 sebesar 0,3 dan 2030 sebessar 0,7 serta tahun 2040 sebesar 1,5 hingga tahun 2050 sebesar 1,7 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 5,8 kali.
Hal ini dapat dilihat dari peningkatan permintaan material (diindeks ke 2010=100) pada komoditas nikel dari 6% hingga 6%, kobalt dari 9% hingga 6%, alumunium dari 2%hingga 3%, cooper dari 2% hingga 4%, Timah dari 4%hingga 2%, Disprosium/terbium dari 11% hingga 14%, Neodymium/praseodyium dari 9% hingga 8%, lithium dari 16% hingga 20%, mangan dari 3%hingga 2%, dan Baja dari 2% hingga 1%. Penilaian tersebut dimulai dari 2020 hingga 2030. Dan, dalam beberapa dekade mendatang, permintaan mineral akan terkait dengan transisi energi, peningkatan populasi dan pertumbuhan ekonomi kelas menengah. (sumber: Mckinsey&company 2023).
Prof. Irwandy, mengungkapkan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menetapkan sebanyak 47 komoditas sebagai mineral kritis sesuai surat edaran Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 296 Tahun 2023 tentang Penetapan Jenis Komoditas Yang Tergolong Dalam Klasifikasi Mineral Kritis. 47 mineral kritis tersebut terbagi menjadi tiga bagian.
“Mineral kritis dengan cadangan potensial sebanyak 18 komoditas, minerla kritis dengan sumber daya potensial sebanyak 6 komoditas, dan mineral kritis tanpa cadangan atau sumber daya sebanyak 23 komoditas,” ungkapnya. (Shiddiq)