NIKEL.CO.ID, JAKARTA – PT Vale Indonesia Tbk (Vale) mempunyai rencana investasi tiga proyek besar pembangunan pabrik smelter nikel di Indonesia senilai US$9 miliar atau setara Rp143,4 triliun (dengan kurs rupiah per dolar Rp15.935). Namun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Vale yang akan berakhir 28 Desember 2025 belum mendapatkan perpanjangan IUPK yang baru dari pemerintah hingga sekarang.
Padahal, Senin, 26 Februari 2024, Vale telah melakukan upaya untuk mendapatkan perpanjangan izin kontrak IUPK melalui divestasi sahamnya sebesar 14% ke perusahaan Pemerintah Indonesia melalui Mining Industry Indonesia (Mind Id) sebesar Rp3.050 pada Senin, 26 Februari 2024 lalu.
Hal ini seperti disampaikan Senior Manager Communication PT Vale, Suparam Bayu Aji, ternyata, prosesnya tidak bisa langsung mendapatkan izin baru untuk IUPK Vale karena sampai hari ini, perusahaan belum menerima salinan resmi izin IUPK dari pemerintah.
“Kalau sampai dengan saat ini, kita PT Vale belum menerima dokumennya,” kata Bayu dalam acara Gathering Media di Jakarta pada Senin (1/4/2024).
Menurutnya, dalam penandatanganan divestasi antara PT Vale dan Pemerintah Indonesia, di sana memiliki persamaan persepsi mengenai program hilirisasi yang harus lebih dikencangkan lagi dan hal ini telah disepakati bersama.
Namun, sampai saat ini pemerintah belum memberikan IUPK kepada PT Vale. Padahal, Vale sangat membutuhkan kepastian IUPK untuk menjalankan operasional di Indonesia. Apalagi, Vale memiliki rencana investasi untuk pembangunan tiga proyek besar smelter nikel yang akan dan sedang diproses senilai US$9 miliar. Tiga proyek itu berlokasi di Bahodopi, Pomalaa, Sorowako yang dikenal dengan proyek Morowali.
Untuk di Sorowako akan dibangun pabrik high pressure acid leaching (HPAL) untuk mixed hydroxide precipitate (MHP) sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik dengan memproduksi 60.000 ton nikel dan 5.000 ton kobalt per tahun. Bahodopi akan dibangun smelter pirometalurgi atau rotary kiln electric furnace (RKEF) ramah lingkungan karena tidak memakai batu bara dan memiliki kapasitas produksi sebesar 70.000-80.000 kilo ton nikel saprolite yang diolah menjadi stainless steel. Ketiga Pomalaa akan dibangun smelter dengan teknologi HPAL.
“Itu kita akan jalankan dan mengenai progress-nya sebenarnya kita sudah louncing. Ketiga proyek ini dalam bentuk Join Venture Company (JVC) antara PT Vale dengan partner kita,” paparnya.
Bayu menuturkan, permasalahan teknologi saat ini masih dikuasai oleh partner perusahaan makanya di Pomala itu Vale bekerja sama dengan Huayou Huwayou dan Ford Motor Co, dan di Bahodopi Morowali dengan Taiyuan Iron & Steel Group Co Ltd (Tisco) dan Shandong Xinhai Technology Co Ltd 9Xinhai), serta di Sorowako dengan Zhejiang Huayou Cobalt Co Ltd (Huayou) dan PT Huali Nickel Indonesia (Huali).
“Partner-partner kita inilah yang banyak teknologinya. Progres smelternya lebih banyak di mereka, kita lebih banyak mengambil progres yang space-nya di tambang,” tuturnya.
Untuk proyek di Pomalaa, dia membeberkan, Vale telah merekrut sekitar 1000 orang yang terdiri dari sebanyak 72% tenaga kerja diambil dari lokal hingga Januari 2024 dan sudah ada kantornya serta kontruksi pembangunan tambang pun sudah dimulai. Inilah wujud nyata dari komitmen Vale mentaati peraturan pemerintah dengan mengutamakan pekerja lokal dan nasional terlebih dahulu, baru setelahnya mengambil tenaga kerja asing yang dibutuhkan.
“Jadi tempat sudak disediakan untuk bergerak kencang,” bebernya.
Ia juga mengungkapkan, perusahaan-perusahaan asal China itu memiliki pengalaman yang lebih luwes, lama dan menguasai teknologi yang lebih maju dalam pembangunan pabrik smelter sehingga sektor pembangunan pabrik diserahkan ke mereka. Contohnya, mereka pernah bangun pabrik smelter di Kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi dalam waktu 15 bulan. Kemudian, pembangunan smelter di Kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah Maluku Utara hanya memakan waktu 18 bulan.
Vale mengambil pertimbangan untuk pembangunan pabrik lebih mengutamakan perusahaan asal China daripada perusahaan dalam negeri saat ini. Karena dinilai lebih cepat, ekonomis dan berpengalaman serta menggunakan teknologi terdepan. Sehingga mereka yakin untuk kondisi saat ini sekalipun, mereka yakin akan tercapai target penyelesaian pembangunan di 2026.
“Kita tetap optimis 2026 (pabrik smelter) tetap akan jadi (rampung),” ungkapnya.
Bayu memaparkan, untuk pencapaian pembangunan pabrik smelter saat ini di Pomala dan Morowali sudah berjalan sesuai rencana, mulai penerimaan tenaga kerja, gedung kantor dan pembangunan pabrik. Sedangkan di Sorowako pencapaiannya saat ini masih sedikit lambat dibandingkan Pomalaa dan Bahodopi Morowali, karena mereka fokus utama menyelesaikan dua wilayah Pomalaa dan Morowali.
Ketiga proyek ini jika telah terealisasi akan mampu memproduksi masing-masing untuk smelter Pomalaa sebesar 120.000 ton nikel, Morowali sebanyak 73.000 ton dan Sorowako sebanyak 60.000 ton
“Bayangkan jika saat ini, di Sorowako kapasitas produksinya mencapai 70.000-75.000 ton. Kalau nanti kita ada tambahan smelter 120.000 ton, 73.000 ton, dan 60.000 ton maka itu berlipat-lipat di tahun 2026,” paparnya. (Shiddiq)