NIKEL.CO.ID, JAKARTA — Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) bersama Bank Indonesia (BI) melaksanakan focus group discussion (FGD) terkait isu strategis pertambangan nikel dan outlook hilirisasi nikel Sulawesi Tenggara (Sultra) dalam waktu yang panjang.
Kepala Kantor Perwakilan BI Sultra, Dony Septadijaya, Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, Manajer Kantor Perwakilan BI Sultra, Rangga Widyatama, Ketua Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Sultra, Syamsir Nur, dan Staf Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Wezy Farlianta, hadir. Agenda FDG diselenggarakan di Hotel Langham, Jakarta Selatan, Rabu (27/3/2024) pagi.
Dalam kesempatan tersebut, Meidy menyampaikan refind supply growth (pertumbuhan pasokan olahan) kapasitas pada mixed hydroxide precipitate (MHP), nikel matte, dan nickle pig iron (NPI) saat ini sangat luar biasa.
Ia menjelaskan, Indonesia sudah mendominasi pasokan tambang. Negara ini menyumbang lebih dari 50% pasokan tambang pada 2023 dan 61% pasokan tambang global pada 2033.
“Indonesia mendominasi lebih dari 50% main supply pada 2023. Lalu, pada 2034 mendatang, Indonesia akan mendominasi 61% main supply global,” paparnya dalam diskusi tersebut.
Ia menambahkan, Indonesia sudah menguasai 65% produksi nikel intermediate, NPI, dari Indonesia pada 2023 dan 85% pada 2033.
“Diprediksi pada 2033 kita 85% hampir 100% loh kita,” ungkapnya.
Namun, ia mengungkapkan kondisi yang menjadi masalah saat ini bahwa seluruh smelter di Indonesia masih dikuasai China. Produksi nikel intermediate hingga kini masih dikirim dan diolah ke negeri tirai bambu tersebut.
“Belum jadi pabrik end product di sini. Kecuali kita tunggu ya, mudah mudahan BYD beneran bulan Juli ini. Jangan sekadar pasang batu gitu ya. Mudah-mudahan terealisasi,” katanya.
Total kapasitas produksi nikel Indonesia, sambungnya, rencananya sekitar 5 juta ton per tahun, sedangkan produksi dunia sebesar 3,4 juta ton pada 2023. Sebanyak 5 juta ton tersebut diidentifikasi berasal dari proyek-proyek yang sedang berproduksi, sedang dibangun, dan dalam perencanaan.
“Kebutuhan dunia 3,4 kita men-supply 5 juta ton. Ya gak make sense ya. Over dan over, sedangkan kondisi China saat ini lagi nge-drop luar biasa,” katanya.
Untuk harga nikel, perempuan penyuka warna jingga itu mengungkapkan, kondisi harga nikel saat ini cukup rendah, baik harga yang ditetapkan London Metal Exchange (LME) ataupun Harga Acuan Mineral Indonesia (HMA).
“Ini kita bicara harga, coba lihat harga kita, LME nikel, kemudian HMA Indonesia, bisa dibilang harga kita ini luar biasa murah. Termurah, bukan murahan, tapi termurah. Sedunia loh. Makanya harga HMA nikel memang harus direvisi,” ungkapnya.
Dalam kesempatan sama, Direktur Pembinaan Program Minerba Kementerian ESDM, Julian Ambassadur Shiddiq, yang diwakili Subkoordinator Pemanfaatan Minerba Wezy Ferlianta menyampaikan, realisasi investasi nikel mengalami peningkatan 32% pada 2023 dibandingkan tahun 2022.
“Nah ini dampaknya saja, ini secara umum ya. Dari sisi investasi, di sini jelas itu ada Dit Pembinaan Program Minerba (Investasi) dan Dit Penerimaan 2023. Dari 2022 – 2023, untuk komoditas nikel itu ada peningkatan 32%,” katanya.
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), lanjutnya, juga naik sebesar 125% pada 2023 dibandingkan 2022.
“Nah ini, kita dapatkan data dari BPS yang menunjukkan bahwa khusus dari Provinsi Sultra, dari tahun ke tahun, dibandingkan dari 2018 sampai 2022, ada peningkatan. Di sini bisa kita lihat bahwasanya untuk industri hulu dan industri pengolahan untuk nikel sangat bermanfaat bagi masyarakat dan sekitarnya, terutama untuk masyarakat di Provinsi Sultra,” tutur Wezy. (Lili Handayani)