NIKEL.CO.ID, 11 JULI 2023 – Presiden Direktur (Presdir) PT Trimegah Bangun Persada Tbk, Harita Nickel (PT TBP/NCKL), Roy Arman Arfandy, mengatakan, PT TBP, Harita Nickel mendukung rencana pembentukan Indonesia Nikel Price Index (INPI) yang diinisiasi oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Hal ini disampaikan oleh Roy A. Arfandy usai acara Dinner PT TBP di restoran Waroeng Rempah-rempah Plaza Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2023).
“Kita mendukung kalau dibentuk misalnya Indonesia Nikel Prize Index,” kata Roy kepada nikel.co.id.
Menurutnya, dia sangat mendukung INPI seperti yang sudah dijelaskan oleh Sekretaris Umum (Sekum) APNI.
Adapun Sekum APNI, Meidy Katrin Lengkey, hadir dalam acara Dinner Pengurus PT TBP bersama rekan wartawan untuk saling mengenal lebih dekat, dia mengatakan bahwa tahun 2024 INPI harus sudah terbentuk.
Untuk perincian skema INPI, Meidy mengatakan hal itu belum bisa di tetapkan karena harus melihat dulu metode penetapan komposisi nilai komoditi nikel tersebut.
“Caranya bagaimana, formulasinya dulu, seperti HPM (Harga Patokan Mineral) koreksi faktornya bagaimana? Kalau itu sudah ketemu, dan ini sudah ketemu kita meski ke London Metal Exchange (LME) minta pendapat dia karena mereka sudah expert untuk bikin prize untuk komunitas dia,” katanya.
Dia menuturkan, bila ada negara yang menentang INPI maka negara itu tidak usah membeli produk nikel dari Indonesia.
“Barang, barang Indonesia, dia mau menentang, jangan beli. Seperti IMF kenapa baru menentang setelah 3 tahun. Kenapa nggak dari awal tahun,” tuturnya.
Terakhir, Meidy menegaskan, saat ini, dunia nikel Indonesia sedang berfokus pada penentuan penetapan harga nikel di dalam negeri.
“Indonesia saat ini sedang progres INPI,” tegasnya.
Kembali, Roy melanjutkan, sebelumnya NCKL telah berhasil memproduksi nikel sulfat secara perdana dan perusahaan tambang nikel yang pertama dan terbesar di Indonesia yang mampu memproduksi nikel sulfat. Ekspor pertama dilakukan ke China sebanyak 5.584 ton nikel sulfat yang dikemas dalam kontainer sebanyak 290 buah.
“Kita sangat bersyukur karena kami perusahaan pertama yang berhasil mencoba menjadi pionir dalam edukasi nikel dan juga berhasil memproduksi nikel sulfat yang merupakan bahan baku utama untuk membuat baterai prekursor,” lanjutnya.
Dia menuturkan, NCKL mendorong produksi nikel sulfat dalam rangka mengembangkan potensi pasar luar negeri untuk meningkatkan nilai pendapatan perusahaan.
“Karena kita sudah mampu memproduksi nikel sulfat dan kebetulan belum ada pabrik prekursor di Indonesia mau tidak mau kita ekspor dulu hasilnya setelah produksi,” tuturnya.
Ia juga menjelaskan, PT TBP yang dikenal dengan NCKL ke depan akan meningkatkan volume produksi nikel sulfat per tahunnya.
“Kita kan baru mulai produksi bulan Juni 2023 kemarin. Kita berharap mungkin separuh dari kapasitas ini kita coba lakukan pada tahun ini,” jelasnya.
Roy menerangkan, mengenai biaya pembangunan smelter pengolahan nikel sulfat dengan teknologi yang canggih ini merupakan keseluruhan dari dana pembangunan pabrik MHP.
“Ini sudah merupakan bagian dari satu kesatuan pembangunan pabrik MHP (Mixed Hidroxid Precipitate) sebelumya. Jadi bukan bagian dari yang terpisah. Jadi sudah total dari seluruh investasi dari awal sampai menjadi MHP dan nikel sulfat,” terangnya.
Kemudian, dia memaparkan, dalam ekspor perdana nikel sulfat, NCKL mengekspor sebanyak 5.584 ton nikel sulfat ke China yang memiliki nilai yang kompetitif bagi perusahaan.
“Tapi yang jelas harganya lebih bagus daripada harga MHP,” paparnya.
Ia juga mengatakan, biaya produksi untuk ekspor nikel sulfat ke China sangat sebanding dengan keuntungan laba yang diterima perusahaan.
“Harusnya si ok, kalau nggak kita tidak ada produksi,” katanya.
Selain itu, Roy menjelaskan, NCKL yang telah mampu memproduksi nikel sulfat melakukan penjualan untuk memenuhi permintaan kebutuhan pasar. Saat ini permintaan kebutuhan pasar ada di luar negeri sedangkan di dalam negeri belum ada permintaan kebutuhan untuk nikel sulfat.
“Selama belum ada pabrik prekursor di Indonesia kita mau tidak mau harus tetap ekspor,” jelasnya.
Sehingga, menurut dia, ekspansi penjualan fokus pada ekspor dipasar luar negeri untuk menyuplai kebutuhan nikel sulfat dari beberapa negara.
“Ekspornya sementara ke negara-negara pabrik pembuatan baterai, seperti China, Jepang atau Korea,” tuturnya.
Ia menegaskan, kebutuhan permintaan nikel sulfat di dalam negeri belum ada karena hingga saat ini belum ada pabrik prekursor untuk baterai listrik di Indonesia.
Roy mengungkapkan, dengan berkembangnya perusahaan termasuk pabrik smelter nikel sulfat telah menyerap lapangan pekerjaan terutama bagi masyarakat sekitar.
“Harusnya karena sekarang sudah total 30.000 orang yang kerja di Obi di Harita Nickel,” ungkapnya.
Dia juga berharap kedepan, perusahaan akan terus meningkatkan kualitas dan kapasitas produksi maupun menyelesaikan berbagai pembangunan yang telah direncanakan.
“Kita akan fokus untuk menyelesaikan proyek-proyek yang dalam tahap pengembangan,” pungkasnya. (Shiddiq)