
NIKEL.CO.ID, 23 JUNI 2023 – Pengamat Kendaraan Listrik, Muhammad Halil menilai subsidi pemerintah untuk kendaraan listrik mobil dan motor (Electric Vehicle/EV) tidak tepat lebih baik mewajibkan pabrik kendaraan listrik untuk membuat satu merek baterai yang sama.
Hal ini disamping Muhammad Halil dalam acara Diskusi CORE Indonesia dengan topik Seri 3: Keterkaitan antara Sektor Hulu Mineral dengan Kendaraan Listrik dalam Rantai Pasok Industri Indonesia dengan tema: Transisi Energi Berkeadilan Untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Yang Berkelanjutan, yang diadakan oleh CORE Indonesia, di Luwansa Hotel, Ruang Rapha 5-6, Lt. 2, Jakarta, Kamis, (22/6/2023), kemarin.
“Kecuali pemerintah mewajibkan semua otoritas motor listrik di Indonesia ini, punya baterai yang sama dan kita bisa switch (alihkan). Seperti bapak ibu tukar galon atau tabung gas di Indomaret. Kalau semua merek kendaraan motor punya baterai yang sama standarnya, mungkin bisa jalan,” kata Halil dalam acara tersebut yang diikuti nikel.co.id.
Menurutnya, dia tidak sepakat dengan subsidi untuk kendaraan listrik mobil dan motor. Lebih baik pemerintah mewajibkan aparatur negara dari pemerintah pusat hingga daerah wajib menggunakan kendaraan listrik.
“Saya lebih setuju untuk mewujudkan itu, mending pemerintah mewajibkan itu semua kepada Pemerintah Pusat maupun daerah (Pemda) sebagai contoh,” ujarnya.
Dia memaparkan, untuk bisnis kendaraan listrik ini harus diserahkan pembangunannya kepada swasta dan didukung oleh rakyat. Karena menurutnya apa gunanya pemerintah menganjurkan menggunakan produk kendaraan listrik nasional tapi harga produknya mahal.
“Terus apa gunanya mereka nasional kalau tidak bisa menghadirkan produk yang terjangkau oleh rakyat. Seperti yang disampaikan Pak Moeldoko, ini rakyat Indonesia sudah di kasih subsidi Rp7 juta plus tenon ketika beli (motor). Padahal sudah di kasih Rp7 juta harganya itu tapi masih lebih mahal kalau beli di luar negeri,” paparnya.
Ia juga membandingkan, antara produk kendaraan listrik dalam negeri dengan produk dari luar negeri yang lebih murah harganya. Seperti pabrik kendaraan Honda yang sangat efektif dalam pemasaran dan kompetitif dari nilai jualnya.
“Kalau saya tangkap, segitu efektifnya (Pabrik Honda). Bayangkan kalau tadi perekonomian kita yang baru (pasca pandemi, pemerintah memberikan subsidi kendaraan listrik), baru konferensi pers saja sudah selesai,” ungkapnya.
Halil menuturkan, terkait skema pengajuan motor berbahan fosil ke motor listrik secara prosedur tampak mudah namun secara aturan main atau regulasi tidak semudah skema dari pemerintah itu. Ia meminta pemerintah untuk menyelesaikan terlebih dahulu berbagai aturan main seperti sertifikasi baterai dari siapa dan siapa yang bertanggungjawab atas sertifikasi itu.
“Selesaikan baterai sertifikasinya dari siapa, hanya BUMN yang punya sertifikasi,” tuturnya.
Sedangkan, menurut dia, seperti di negara Inggris tidak semua bengkel mobil dapat melakukan sertifikasi untuk perubahan kendaraan fosil ke listrik. Hanya perusahaan tertentu yang telah memenuhi syarat bisa mengeluarkan sertifikasi dan bertanggungjawab atas kebenarannya tersebut.
Selain itu, ia menerangkan, di Indonesia umumnya orang membeli mobil bukan karena orang kaya tapi untuk kebutuhan. Namun kenapa subsidi itu dinikmati juga oleh orang kaya karena subsidi itu harusnya diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu.
“Itu mereka beli mobil bukan karena mereka pengen tapi karena mereka butuh. Saya juga mampu mencicil itu, kalau saya orang kaya, kenapa ada subsidi buat mobil listrik, kan nggak perlu,” terangnya.
Oleh sebab itu, Halil menegaskan, bahwa dirinya tidak sepakat dengan subsidi kendaraan listrik karena masih banyak yang kurang tepat dan aturan mainnya masih lemah.
“Saya termasuk orang yang tidak sepakat untuk subsidi atau saya minta waktu untuk end mobil ini. Kecuali kita bisa memproduksi mobil dengan harga di bawah yang sudah ada, itu yang sudah disubsidi,” tegasnya.
Dia menjelaskan, untuk sepeda motor merek Honda dan Yamaha yang dikuasai kartel penjualan bila mereka berhasil menjual sesuai target pun masih ada masalah dan masalah ini juga harus dipikirkan oleh pemerintah untuk diselesaikan juga. Hal ini terkait dengan program pengalihan dari kendaraan pribadi ke moda transportasi umum sehingga mengurangi kepadatan lalu lintas.
“Para pemilik sepeda motor umumnya pegawai biasa. Mereka berfikir daripada naik bus, cari praktis naik motor. Mereka tidak terlalu mempersoalkan lisesnsi. Misalnya kalau lisensi lebih murah,” pungkasnya. (Shiddiq)