Beranda Wawancara Masalah Utama Industri Hulu Nikel, Ketidaksiapan Pemerintah dan Kurangnya Peran Pelaku Tambang

Masalah Utama Industri Hulu Nikel, Ketidaksiapan Pemerintah dan Kurangnya Peran Pelaku Tambang

1479
0
Anggota Komisi VII DPR Rofik Hananto

NIKEL.CO.ID, 11 MEI 2023 – Anggota Komisi Vll DPR RI, Rofik Hananto mengungkapkan permasalahan utama pada industri pertambangan nikel disektor hulu adalah ketidaksiapan pemerintah dan industri pertambangan nikel yang menyebabkan kurangnya peran pemain nasional sehingga dimanfaatkan pihak asing untuk membeli komoditas nikel setengah jadi dengan harga murah.

Sesuai amanat pasal 103 Undang-Undang (UU) Minerba Nomor 3 Tahun 2020, untuk sektor hulu pertambangan ditekankan harus ada Peningkatan Nilai Tambah, baik yang logam, seperti nikel maupun yang non-logam seperti batubara. 

“Jangan sampai kita hanya mengeskpor bijih mentah saja. Ini yang namanya hilirisasi. Tujuannya baik dan mulia tapi masalah utamanya muncul ketika kita sendiri tidak siap melakukannya,” ungkap Rofik sapaan akrabnya melalui surat elektronik kepada nikel.co.id, di Jakarta, Kamis, (11/5/2023). 

Menurutnya, ketidaksiapan pemerintah dalam skema rencana program hilirisasi mengurangi peran-peran strategis para pelaku tambang nasional atau masih kurangnya peran pelaku pertambangan nikel di sektor hulu selama ini. 

“Para pemain dalam negeri kurang berperan, sehingga lebih banyak dimanfaatkan oleh pihak luar. Memang smelter banyak didirikan tetapi sebagian besar dimodali dan dimiliki oleh asing. Smelter tersebut juga hanya memproduksi olahan bernilai tambah rendah yaitu berupa feronikel dan Ni Matte,” dalam pandangan Anggota Komisi Vll DPR RI itu. 

Dia menambahkan, dalam produk olahan bijih nikel ini, sebagian besar olahannya juga diekspor ke Cina dengan harga yang murah tanpa adanya pajak ekspor.

“Apalagi kondisi yang terjadi adalah harga bijih mentah nikel dibeli smelter dengan harga murah jauh dari harga internasional,” tambahnya. 

Selain itu, Rofik menilai, larangan ekspor bijih nikel menyebabkan oversuplai, sehingga pihak smelter bisa membeli bijih nikel dengan super murah. 

“Jauh di bawah harga pasar internasional,” ujarnya. 

“Sementara dampak lingkungan berupa limbah dan kerusakan kita tanggung semua. Sehingga nilai tambah yang diharapkan dari kebijakan hilirisasi ini tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sebagian besar nilai tambah dinikmati oleh pihak asing,” sambungnya. 

Dia menjelaskan, dari nilai ekspor nikel yang meningkat dari Rp15 triliun menjadi Rp360 triliun, berapa yang masuk sebagai penerimaan negara. Ini yang belum dijelaskan Pemerintah kepada publik. Yang kedua adalah pengertian hilirisasi ini tidak hanya sampai membuat smelter saja tetapi juga industri turunannya.

“Kenyataannya di industri turunan ini kita juga tidak lebih siap,” jelasnya. 

Menurut Anggota DPR RI ini, untuk menghadapi tantangan permasalahan ini kedepannya harus ada evaluasi secara menyeluruh. 

“Ya, pemerintah harus melakukan evaluasi ulang kalau melihat hasilnya seperti sekarang ini. Akar permasalahannya adalah kebijakan yang setengah hati,” paparnya. 

Hal ini, kata dia, pemerintah tidak memikirkan secara matang yang seharusnya telah mempersiapkan ekosistem di dalam negeri.

“Sehingga anak bangsa kita yang mengambil manfaat paling besar dari kebijakan ini,” katanya.

Ia menegaskan, pemerintah harus membuat kebijakan yang memberikan manfaat besar bagi masyarakat. Jika saat ini dirasa belum memenuhi harapan tersebut maka bisa jadi pada pemimpin kedepan hal itu bisa terwujud.

“Harus ada paradigma seperti ini. Kalau tidak ada, ya mungkin harapan kita ya nanti kalau sudah selesai pemilu 2024 dan pemerintah yang terpilih dengan keberpihakan kepada anak bangsa yang dapat menangani masalah ini,” tegasnya. 

Rofik menguraikan, beberapa langkah dalam meningkatkan kemajuan industri pertambangan hulu nikel. 

“Pertama, jauh-jauh di awal, kita petakan dulu sektor industri turunan mana yang realistis untuk digarap. Setelah smelter, industri turunan mana yang harus ditumbuhkan untuk menyerap hasil smelter tersebut, misalnya stainless steel, atau bahan baku baterai dan lainnya. Jangan kayak sekarang hampir semuanya diekspor ke Cina,” urainya. 

Kedua, dia juga memaparkan, harus ada keberpihakan dengan cara menyiapkan pemain-pemain dalam negeri siapa yang akan terjun ke hilirisasi. Pemerintah pastinya sudah tahu siapa saja pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) nikel. 

Jika pemegang IUPK ini tidak mau melaksanakan, mungkin bisa mendorong BUMN untuk melakukannya atau pengusaha swasta nasional yang bersedia untuk melakukan. 

“Kita lihat kesediaan mereka dan membantu dari aspek modal maupun teknologi. Bank-bank BUMN diikutsertakan dalam hal ini. Dari sisi teknologi kita bisa minta BRIN untuk membantu seleksi teknologinya. Kan sekarang ditengarai, para pemain lokal ini kesulitan pendanaan untuk membangun smelter. Serta teknologi yang dipakai di smelter Cina di Sulawesi juga pake teknologi yang using dan tidak efisien,” paparnya. 

Kemudian yang ketiga, setelah ada kesediaan dari pemain dalam negeri untuk membangun smelter dan industri turunan, pemerintah harus melakukan evaluasi dan monitoring secara rutin terhadap perkembangannya.

“Tapi kayaknya susah kita berharap kepada rezim yang sekarang untuk melakukan ini semua,” cetusnya. 

Rofik menjelaskan juga, bahwa peran pemerintah selama ini dalam sektor hulu nikel sudah memberikan kemudahan bisnis bagi para pelaku usaha hulu nikel.

“Pemerintah sudah jor-joran memberikan kemudahan untuk pembangunan smelter. Sayangnya, semuanya diambil oleh pemain asing karena pemerintah tidak punya keberpihakan,” jelasnya. 

Dia mencontohkan, misalnya smelter asing yang dapat untung tidak perlu bayar pajak karena dapat tax holiday sampai 25 tahun. Tidak ada pajak ekspor sehingga negara tidak mendapatkan tambahan penerimaan. 

Smelter asing juga tidak perlu bayar PPN. Semua alat produksi yang diimpor oleh smelter asing tidak kena bea masuk. Pekerja asing juga bebas tanpa visa khusus dan izin kerja. 

“Semuanya sudah diberikan kemudahan. Cuma sayangnya yang menikmati orang asing. Ngenes Mas. Semoga nanti setelah pemilu 2024, kondisi kita jauh lebih baik dan siap untuk menjalankan hilirisasi nikel ini,” pungkasnya. (Shiddiq)