Beranda Berita Nasional APNI Minta Perbankan Dukung Permodalan Pengusaha Nasional dan Lokal di Industri Hilir

APNI Minta Perbankan Dukung Permodalan Pengusaha Nasional dan Lokal di Industri Hilir

411
0
Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey.

NIKEL.CO.ID, 5 MEI 2023-Industri pengolahan bijih nikel di Indonesia sudah berkembang pesat. Namun, bisnis di industri hilir dominan dikuasai pihak asing. Bagaimana dukungan pemerintah melalui sektor perbankan untuk mendukung aktivitas binis pengusaha nasional dan lokal di industri hilir?

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengutarakan, kebijakan larangan ekspor bijih nikel mulai diberkakukan Pemerintah Indonesia pada 2017. Larangan ekspor bijih nikel untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara–sebelum akhirnya diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, yakni adanya kewajiban pengolahan di dalam negeri untuk produk pertambangan, baik untuk izin baru maupun kontrak/perjanjian lama.

Namun, kata Meidy, larangan ekspor itu kurang berjalan mulus, karena menimbulkan pro dan kontra. Sesudahnya, Pemerintah Indonesia kembali memberlakukan larangan ekspor bijih nikel pada 1 Januari 2020 melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019.

Menurut catatan APNI, hingga April 2023 setidaknya sudah berdiri 57 pabrik pirometalurgi yang mengolah bijih nikel kadar tinggi atau saprolit menjadi nikel pig iron (NPI), feronikel, dan nikel matte. Hingga Maret 2023, dari 57 pabrik pirometalurgi ini memiliki kapasitas 172 line furnace. Sementara kebutuhan bijih nikel untuk 57 pabrik hingga akhir Maret 2023 sebanyak 942 ribu ton. Produk olahan pabrik pirometalurgi ini umumnya untuk material stainless steel.

Namun, kata Meidy, Pemerintah Indonesia juga sedang mengembangkan bijih nikel sebagai bahan baku baterai untuk kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di dalam negeri. Langkah ini untuk menekan dekarbonisasi. Baterai EV berbahan baku nikel dinilai mendukung program green energy dan memujudkan target net zero emission Pemerintah Indonesia di 2050.

“Kita sedang menuju ke green energy, termasuk salah satu pendukung bahan bakunya adalah nikel untuk baterai EV,” kata Meidy saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Bank Indonesia Institute (BINS) bertema “Hilirisasi Industri Nikel: Penguatan Local Value Chain dan Produk Turunannya”, Kamis (4/5/2023).  

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, menyampaikan bahwa pemerintah menargetkan sudah mampu membuat baterai seri NMC (Nikel, Mangan, Cobalt) pada 2024. Karena, Indonesia mempunyai sumberdaya dan cadangan nikel terbesar di dunia, sehingga memiliki modal besar dari sisi bahan baku baterai MNC.

“Indonesia memiliki 23,7 persen total kebutuhan nikel dunia. Karena itu, saat ini seluruh dunia matanya lagi ngincer Indonesia,” bilang Meidy.

Meidy melanjutkan, saat ini pertumbuhan industri hilir pengolahan bijih nikel terbilang sudah over. Namun, untuk kategori pabrik pirometalurgi. Tidak dengan pabrik hidrometalurgi yang mengolah bijih nikel kadar rendah atau limonit menjadi MHP dan nikel sulfat yang diolah kembali menjadi prekursor, katoda, dan anoda baterai EV.

Lantaran itu, APNI mengusulkan kepada pemerintah untuk moratorium berdirinya pabrik pirometalurgi baru. Investasi yang masuk di Indonesia diarahkan untuk berdirinya pabrik hidrometalurgi, yang saat ini baru beroperasi 4 pabrik.

Disebutkan Meidy, hingga akhir Maret 2023, produk MHP yang dihasilkan pabrik hidrometalurgi di Indonesia sudah mengeksor 32.250 ton MHP. Namun, jumlah pabrik pirometalurgi dan hidrometalurgi di Indonesia akan bertambah, karena hingga saat ini masih ada badan usaha yang sedang tahap menyelesaikan perizinan dan tahap konstruksi. Hingga 2025 diperkirakan akan ada 136 pabrik dengan estimasi kebutuhan bijih nikel sekitar 450 juta ton per tahun.

“Persoalannya ke depan jika jumlah pabrik pirometalurgi terus bertambah, dikhawatirkan akan mengalami kendala pasokan saprolit. Pasalnya, cadangan bijih nikel di Indonesia sekitar 70 persen adalah limonit, sedangkan cadangan saprolit hanya 30 persen,” tukasnya.

Dukungan Pemerintah

Industri hilir pengolahan bijih nikel di Indonesia memang sudah berjalan. Hanya APNI, seperti disampaikan Meidy, melihat sektor hilirisasi lebih dikuasi pihak asing, yang notabene penggelontor investasi. Maklum, pembangunan pabrik pengolahan bijih nikel membutuhkan biaya yang besar.

Karena itu, APNI berharap pengusaha nasional dan lokal mendapat dukungan dari Pemerintah Indonesia melalui dukungan pinjaman permodalan dari sektor perbankan. Sehingga pengusaha nasional dan lokal jangan hanya menjadi penonton.

“Apa kita tidak iri melihat industri hilir yang saat ini sudah berkembang luar biasa, sudah amat masif, dan mereka sudah mendapatkan keuntungan yang sangat banyak. Sementara kita hanya jadi penonton? Semuanya dikuasai asing, asing lagi. Perbankan Indonesia ke mana? Pembiayaan Indonesia ke mana? Itu yang selalu kami fokuskan, bahwa kita butuh dukungan perbankan Indonesia,” tutur Meidy.

Meidy lantas mengestimasi biaya yang dibutuhkan untuk 1 line atau tungku pabrik pirometalurgi sekitar US$ 50 juta untuk memasak bijih nikel menjadi NPI. Modal sebesar itu digunakan untuk proses konstruksi di tahun pertama. Kemudian di tahun 2 dan 3 mulai produksi. Baru di tahun 5 sudah mendapatkan keuntungan dari usaha industri pengolahan bijih nikel tersebut.

“Ini baru komoditas nikel. Pemerintah pada Juni 2023 akan menyetop ekspor bauksit, dan harus diolah dulu di dalam negeri. Apakah nasib industri hilir bauksit nantinya sama dengan industri hilir nikel. Kita lagi-lagi hanya menjadi penonton?” tanyanya. (Lili/Editor: Syarif)

Artikulli paraprakJokowi Bertekad Memecahkan Isu Penting Perdagangan dengan Amerika di FTA
Artikulli tjetërNilai Ekspor Sektor Pertambangan Triwulan I 2023 US$ 14,31 Miliar