NIKEL.CO.ID., 15 Desember 2022 – Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey, berpandangan, tiga kebijakan Indonesia menjadi produsen baterai listrik dunia. Apa saja?
Meidy menyebutkan, tiga kebijakan tersebut, yaitu dukungan pemerintah terhadap tata niaga nikel, membuat aturan terkait dukungan pembiayaan, dan suplai terhadap industri hilir.
Hal itu disampaikannya di sela-sela acara Training of Trainer (TOT) National Battery Research Institute (NBRI) bekerja sama dengan APNI. Ia mengatakan, dukungan penuh pemerintah terhadap pengusaha lokal harus dilakukan untuk mewujudkan cita-cita menjadi nnegara produsen baterai dunia.
“Tergantung dukungan pemerintah bagaimana mendukung para pengusaha lokal. Pertama, dari tata niaga dulu. Tata kelola dulu di hulu kemudian bagaimana aturan mendukung full untuk pengusaha lokal,” katanya kepada nikel.co.id, Kamis (15/12/2022).
Pemerintah, katanya menambahkan, harus membuat aturan pembiayaan yang jelas, sehingga para pengusaha lokal maupun nasional mampu bersaing dengan pengusaha asing, yang sampai sekarang ini banyak menyerbu Indonesia.
“Kedua, membuat suatu aturan mengenai pembiayaan. Karena, pembiayaan Indonesia selama ini belum ada, sehingga kita diserang habis-habisan oleh investasi asing,” ujarnya.
Ia melanjutkan, dukungan ketiga adalah pabrik-pabrik yang sudah ada diarahkan untuk menyuplai semua industri hilir.
“Untuk pabrik-pabrik yang sudah berproduksi di sini menyuplai dan mendukung industri baterai listrik,” terangnya.
Meidy memaparkan, selama ini produk olahan mineral nikel, seperti NPI dan MHP, diekspor. Salah satu perusahaan yang ada di Indonesia adalah pabrik baterai ABC, pabrik baterai terbesar di Indonesia sampai sekarang. Mereka masih menggunakan teknologi lithium ferro phospate
(LFP), padahal ABC berada di negara yang memiliki sumber daya mineral nikel yang terbesar di dunia. Seharusnya pabrik baterai ABC menjadi perusahaan pertama yang menjadi pioneer yang melakukan produksi perdana nikel nickel, mangan, cobalt (NMC) di Indonesia yang merupakan negara terkaya mineral nikel.
“Bagaimana pemerintah mendukung itu jika belum ada produk sekelas MHP yang bisa menyuplai ke mereka, bagaimana pemerintah mendukung pabrik yang sudah ada untuk membagi? Misalnya, dari kuota full mereka untuk ekspor dibagilah 20% atau 30% untuk suplai ke lokal. Contoh suplai ke pabrik baterai ABC atau pabrik-pabrik baru yang nanti berproduksi baterai,” imbaunya.
Selanjutnya, menurut pandangan Sekum APNI itu, pemerintah seyogyanya mendukung industri dalam negeri untuk material lainnya hingga menjadi baterai. Untuk menjadi baterai dibutuhkan anode, namun sampai sekarang Indonesia baru sampai katode. Untuk memenuhi anode, pemerintah sedang berusaha bekerja sama dengan Argentina dan Australia untuk menyuplai bahan baku tersebut. Namun, harus jelas
kerja sama yang dibangun Indonesia dengan negara tersebut untuk kolaborasi pemenuhan suplai bahan baku anode itu.
“Sehingga, kita bukan hanya memproduksi NMC atau baterai katode, tapi anodenya juga, sehingga full menjadi baterai murni buatan Indonesia,” paparnya.
Selain itu, dia juga menerangkan mengenai teknologi penambangan nikel di Indonesia yang masih banyak dikuasai perusahaan asing. Namun, untuk saat ini, sudah ada beberapa teknologi yang diciptakan oleh anak bangsa sendiri, buatan lokal.
“Kita orang-orang pintar di Indonesia. Contoh seperti NBRI, kemudian teknologi yang dibuat oleh STAL, kemudian teknologi yang dibuat oleh Dokter Chandra untuk Gebe Industry Nickel (GIN). Mereka ini kan hanya sebatas pilot project atau proyek-proyek kecil,” terangnya.
Menurut dia, para pembuat teknologi lokal itu hanya mampu menghasilkan produksi dari proyek kecil karena kurang dukungan finansial dari pemerintah. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan asing memiliki kekuatan finansial yang besar.
“Sekarang pemerintah dukung dong! Ini kan lokal. Ini kan made in Indonesia, buatan Indonesia, dari orang-orang Indonesia. Kenapa sih
yang didukung hanya asing. Harusnya lokal juga didukung! Sehingga, mereka ini bisa punya power dan bisa memproduksi
yang lebih gede lagi dan membuktikan bahwa Indonesia bisa,” katanya dengan penuh semangat.
Dengan tegas dikatakannya, perusahaan lokal harus didukung karena yang mengerti struktur mineral yang ada di Indonesia hanyalah perusahaan lokal, sedangkan perusahaan asing tidak akan mengerti karena hanya mengetahui produksi sesuai teknologi mereka.
Ia mencontohkan, teknologi dari negara asing. Mereka butuh bijih nikel kadar 1,8% atau 1,9% dengan feronya harus di 15 atau 18 kadarnya, sedangkan struktur nikel di Indonesia itu berbeda-beda. Jadi, perusahaan asing hanya membuat teknologi sesuai kebutuhan teknologi yang mereka gunakan, sedangkan perusahaan lokal membuat satu teknologi yang menyesuaikan dengan struktur mineral yang ada di Indonesia. Sehingga, tidak terjadi waste (limbah) atau tidak terjadi pembuangan bahan baku yang berujung terjadinya kehilangan penerimaan negara.
Dia menyayangkan, selama ini para penambang kebanyakan terkena penalti dan di-reject karena bahan baku tidak sesuai, bahan pengotornya banyak, sehingga tidak sesuai dengan teknologi yang ada. Sekarang ini, bagaimana membuat suatu teknologi yang disesuaikan dengan struktur mineral di Indonesia bukan dengan struktur mineral dari negara asing. Sehingga, bila sudah disesuaikan seluruh bahan baku itu terkonsumsi.
Jika sudah tidak ada yang terbuang, katanya mengingatkan, berarti tidak ada lagi penerimaan negara yang terbuang. Inilah yang menjadi inti, yaitu adanya penerimaan negara. Jika penerimaan negara ada yang terbuang dari bahan baku yang tidak terpakai, sangat disayangkan.
Sekarang bagaimana pengolahan itu harus diteliti atau diriset lebih dulu teknologinya, bagaimana struktur-struktur mineral karena setiap provinsi berbeda-beda dan teknologi ini yang bisa digunakan. Indonesia bisa membuat satu teknologi yang mengikuti mineral dan bahan baku bukan mineral dan bahan baku yang mengikuti teknologi.
“Teknologi itu buatan tangan manusia, bahan baku buatan Tuhan. Jadi, nggak bisa diubah-ubah. Mau nggak mau kita yang mengikuti. Ini yang sudah ada gimana si mineral nikelnya, seperti apa, strukturnya, seperti apa kandungan feronya, gimana kandungan nikelnya, gimana
kandungan kobaltnya, gimana kandungan silikon magnesiumnya. Itu yang kita sesuaikan,” paparnya.
Dengan tegas Meidy mengatakn, bukan bahan baku yang mengikuti teknologi, melainkan teknologi yang mengikuti bahan baku yang ada. Sehingga, harus dibicarakan bersama untuk mewujudkan Indonesia sebagai produsen baterai.
“Bukan bahan baku yang mengikuti teknologi. Beda loh ya. Ini yang harus kita sama-sama, yok buat, yuk pemerintah bantu dong gimana caranya mendukung teknologi-teknologi lokal, kumpul bersama para profesor kita, seperti dari NBRI, GIN, dan STAL,” tukasnya. (Shiddiq/Varrel/R)