Beranda Berita Nasional Perbedaan Metode Analisis adalah Satu dari Problematika Tata Niaga Nikel

Perbedaan Metode Analisis adalah Satu dari Problematika Tata Niaga Nikel

521
0

NIKEL.CO.ID, 15 Desember 2022-Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan, APNI bersama asosiasi pertambangan dan lembaga pemerintah yang berkompeten akan duduk bersama untuk mengkaji metode analis kuantitatif dan kualitatif mineral nikel. Konon, perbedaan hasil analisis kadar nikel oleh masing-masing perusahaan surveyor sebagai penyebab.

Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey menyampaikan hal tersebut terkorelasi dengan pemaparan materinya bertema: “Mining Outook” di kelas Training of Trainers Battery Technology from Upstream to Downstream yang diselenggarakan NBRI di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Kamis (15/12/2022).

Pengkajian metode analisis tersebut, kata Meidy Katrin Lengkey, merespon hasil pelaksanaan Training of Trainers APNI ke-3, yang mengangkat topik Analisis Kuantitatif & Kualitatif, Metode, Standarisasi, Akreditasi, Pengawasan dan Kewajiban Hasil Uji Mineral Nikel serta hasil Pertemuan Teknis Uji Profisiensi Batu Bara dan Nikel Laterit 2022 yang dilaksanakan oleh Balai Besar Pengujian Mineral dan Batu Bara (BBPMB) tekMIRA yang secara eksplisit menunjukkan perbedaan hasil uji mineral nikel dari 29 laboratorium pengujian nikel laterit. Maka APNI mengundang beberapa asosiasi terkait dan lembaga pemerintah yang berkompeten untuk membahas permasalahan metode tersebut.

Asosiasi dan lembaga pemerintah tersebut, yaitu Asosiasi Surveyor Mineral dan Batu Bara (ASMIBA), Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (PERHAPI), Indonesia Mining Association (IMA), Indonesian Mining Institute (IMI), Balai Besar Pengujian Mineral dan Batu Bara (BBPMB) tekMIRA, Komite Akreditasi Nasional, dan Badan Standarisasi Nasional Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara.

“APNI ingin membuat diskusi dalam bentuk roundtable dengan tujuan mendapatkan kesepahaman dan persetujuan dalam bentuk Letter of Agreement yang berisikan penggunaan tipikal metode dan analisis yang akan ditentukan oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara atas rekomendasi Balai Besar Pengujian Mineral dan Batu Bara (BBPMB) tekMIRA,” tutur Meidy Katrin Lengkey.

Ia berharap, sekiranya dengan inisiasi konsep baru untuk pengujian mineral nikel dapat mendukung tercapainya tata niaga mineral nikel yang baik dan logis terhadap berbagai unsur, yaitu industri pertambangan (hulu) dan industri pengolahan hasil pertambangan (hilir), sekaligus dapat meningkatkan pendapatan negara.

Informasinya, acara roundtable ini akan dilaksanakan di awal tahun 2023.

Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, perbedaan hasil analisis dari penggunaan metode yang berbeda-beda dari masing-masing perusahaan surveyor hanyalah satu persoalan dari materi Mining Outlook yang disampaikannya di Training of Trainers NBRI ini.

Disebutkan, persoalan lain masih maraknya pertambangan tanpa izin (Peti), pembelian bijih nikel yang tidak sesuai dengan Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel berdasarkan Permen Nomor 11 Tahun 2020 yang telah diperjuangkan APNI tiga tahun lalu. Kemenko Marves juga telah mengeluarkan Kepmen Nomor 108 Tahun 2020 tentang Tim Satgas HPM.

APNI juga telah memperjuangkan diturunkannya pajak nikel kadar rendah atau limonit dari 10% menjadi 2% melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2022 yang dikeluarkan pemerintah 17 Agustus 2022.

“Permen ESDM No. 11 Tahun 2020 mengatur transaksi pembelian bijih nikel berbasis Free on Board (FoB). Faktanya, pabrik membeli dengan basis Cost Insurance and Freight (CIF), sehingga penambang harus menanggung antara US$6-US$8 untuk biaya tongkang,” tuturnya.

Menurutnya, skema pembelian CIF bisa merugikan penambang nikel. Selain sudah diwajibkan membayar royalti 10%, PPh 1,5%, kemudian harus mengeluarkan biaya tambahan tongkang.

Disampaikan, APNI sedang melakukan kajian analisis metode pembelian bijih nikel berbasis FoB, namun harus ada winwin solution antara penambang dengan pabrik. Jadi, tidak ada yang dirugikan.

“APNI hanya butuh fairness. Hilir tidak jalan tanpa ada hulu,” tukasnya.

Buktinya, ketika semua penambang nikel kompak tidak mensuplai bijih nikel ke pabrik selama 3 bulan di 2020, membuat pabrik kekurangan bahan baku pengolahan.

“Sekarang raw material nikel tidak boleh ekspor, namun harga jualnya tidak make sense dengan HPM Nikel,” ungkapnya.

Terlepas dari polemik tata niaga nikel, Meidy Katrin Lengkey menekankan bagi penambang nikel pentingnya menjaga ekosistem lingkungan di kawasan pertambangan dengan menerapkan good mining practice. (Syarif)

Artikulli paraprakSekum APNI, Meidy Katrin Lengkey: Tiga Masukan untuk Jadi Negara Produsen Baterai Listrik
Artikulli tjetërMenghindari Impor, ABC Battery Menunggu Material Olahan untuk Sel Baterai Berproduksi di Indonesia