NIKEL.CO.ID, 14 Desember 2022-Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi), Rizal Kasli menyebut empat kriteria komoditas mineral masuk dalam kategori mineral kritis. Apa saja kriteria tersebut?
Kementerian ESDM sedang melakukan kajian terhadap komoditas mineral yang masuk dalam kategori strategis dan kritis. Hasil kajian sementara telah ditentukan lima komoditas mineral masuk dalam kategori strategis dan 45 komoditas mineral masuk dalam kategori kritis. Kelima mineral strategis, yaitu nikel, timah, emas, bauksit, kobalt-mangan.
Menurut Ketum Perhapi, Rizal Kasli, komoditas mineral disebut mineral kritis, karena suplainya lebih kecil dibandingkan demand, sehingga dikhawatirkan akan mempengaruhi kebutuhan global.
“Masing-masing komoditas mineral kritis mempunyai nilai tersendiri. Namun, mineral kritis bisa masuk dalam kategori mineral strategis,” kata Rizal kepada nikel.co.id di sela-sela acara International Conference on Advanced Material and Technology 2022 (ICAMT) dan Training of Trainers International Battery School from Upstream and Downstream yang diselenggarakan National Battery Research Institue (NBRI) di Hotel Grand Sahid Jakarta, Rabu (14/12/2022).
Ia mencontohkan komoditas mineral yang bisa masuk dalam kelompok mineral kritis, yaitu nikel. Ketika kebutuhan nikel begitu banyak untuk industri baterai kendaraan listrik tidak dapat dipenuhi, sudah masuk dalam kondisi kritis.
“Karena, makin lama kebutuhannya semakin tinggi, dan suplainya tidak bisa mengimbangi permintaan. Itu yang pertama,” kata Rizal Kasli.
Kedua, lanjutnya, khusus Indonesia, harus banyak dilakukan eksplorasi untuk mendapatkan mineral kritis tersebut.
Selain nikel, komoditas mineral lain seperti timah, kobalt, dan mangan pun termasuk ke dalam mineral kritis. Apalagi lithium, karena hingga saat ini Indonesia belum menemukan sumber daya maupun deposit lithium yang menjanjikan. Termasuk juga grafit dan mineral tanah jarang, masuk ke dalam mineral kritis. Walaupun potensinya ada di Indonesia, namun belum bisa dikatakan sebagai potensi sumber daya dan cadangan. Klasifikasinya masih dalam sumber daya hipotetik saja.
“Jadi, masih dalam perkiraan saja. Namun, kita belum mengetahui secara persis jumlah sumber daya dan cadangannya,” jelasnya.
Komoditas lainnya, masih menurut Rizal, adalah uranium, jumlahnya belum signifikan.
Ketiga, dari sisi teknologi pengolahan komoditas mineral. Indonesia belum menguasai teknologi pengolahan komoditas mineral. Teknologi masih dikuasai oleh negara lain.
Rizal berharap lembaga pemerintah, seperti BRIN harus bisa menciptakan teknologi-teknologi pengolahan komoditas mineral di dalam negeri. Jika tidak, Indonesia akan terus bergantung kepada impor teknologi dari negara lain.
Ia mencontohkan munculnya kebijakan penghentian PLTU berbahan baku batubara, namun Indonesia belum menguasai teknologi untuk menggantikan PLTU.
“Harapan saya BRIN bisa bergerak cepat untuk menciptakan teknologi untuk menggantikan PLTU. Tentunya BRIN harus didukung banyak biaya oleh pemerintah untuk melakukan kajian serta menciptakan teknologi yang sedang dibutuhkan di Indonesia,” harapnya.
Apalagi, sambung Rizal Kasli, Indonesia ingin menuju negara net zero emission di 2060. Jika teknologi tidak bisa dikuasai, maka akan terus impor teknologi dari negara lain.
Keempat, yang perlu diperhatikan adalah dari sisi penambangan. Semakin banyak kebutuhan bahan baku yang diminta, maka semakin besar produksi yang dilakukan. Jika tidak dibarengi dengan good mining practice, akan hancur daerah-daerah yang memiliki sumber daya mineral kritis tersebut.
Ia mencontohkan nikel, saat ini sedang dilakukan eksploitasi besar-besaran. Jika tidak dilakukan penambangan secara good mining practice, maka daerah yang ditambang itu akan hancur.
“Di sini butuh kehadiran pemerintah sebagai regulator sekaligus evaluator. Selama ini bisa dikatakan kurangnya pengawasan serta penindakan terhadap perusahaan pertambangan yang mengabaikan good mining practice,” ungkapnya. (Syarif)