NIKEL.CO.ID, 9 November 2022 – Badan Standardisasi Nasional Zulhamidi, S. Pd, M.T mengungkapkan bahwa masih adanya perbedaan hasil survei di lapangan antara perusahaan penambang dan pabrik pengelolaan nikel sebenarnya hal itu bisa disamakan hasilnya yaitu dengan standardisasi.
Hal itu disampaikan Zulhamidi ketika menjawab pertanyaan dari Sekretaris Umum (Sekum) Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengenai persoalan antara penambang dan pabrik pengelolaan yang ditemukan masih terjadinya perbedaan hasil survei.
Dari perusahaan pertambahan nikel dan pabrik pengolahannya selama ini menggunakan perusahaan jasa survei namun melihat hasil survei yang berbeda-beda, bagaimana sebenarnya standarisasi yang diberlakukan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) terhadap perusahaan jasa analis tersebut.
“Bagaimana menyamakannya? Kayak tadi dengan standardisasi. Kita standarkan metologinya, kita standarkan samplingnya, kita standarkan misalnya bagaimana analisanya, rumusnya atau titik sampelnya atau bagaimana pengujiannya, standar atau alat ukur yang digunakan sehingga bisa dibandingkan apel to apel (sama-sama),” ucap Zulhamidi dalam acara Traning of Trainers (ToT) APNI, Rabu (9/11/2022).
Menurut Zulhamidi, bahwa dengan metode standardisasi yang ditetapkan ketika masih ada perbedaan yang terjadi hal itu bisa diketahui termasuk siapa yang membuat kesalahan tersebut.
“Bisa ketawan nanti kambing hitamnya siapa. Apakah kesalahan di personelnya. Misalnya kurang ahli, padahal di skema ditentukan personel yang mengambil harus terlatih, harus bersertifikat. Misalnya di skema disebutkan seperti itu,” ujarnya.
Zulhamidi menerangkan bahwa di dalam skema ada yang bertugas mengambil contoh PPC dan petugas itu harus besertifikat. Sehingga petugas tersebut harus memiliki kompetensi dan memiliki pengalaman dibidangnya.
“Jadi tidak sembarangan, misalnya ada orang mengambil sampel, misalnya dia belum terlatih, belum paham, belum kompeten, dia hanya mengambil sampel hanya di titik tertentu. Ini ada kasus misalnya ngukur suhu sebuah mesin, dia ngambil suhunya pas di lidah api, ya tinggi. Tapi apinya api korek padahal di ini tidak panas karena titik pengambilannya juga sudah beda,” terangnya.
Zulhamidi melanjutkan bahwa dalam skema titik pengambilan suhu sebenarnya adalah di titik paling rendah. Seperti contoh, standar suhu berkisar antara 800 sampai 1200 titik suhu yang harus diambil dan suhu yang diambil harusnya 800 bukan 700. Karena kalau suhu yang diambil dikisaran 700 maka itu salah dan tidak lulus uji dan tidak boleh dijual.
“Jangan justru ngambil di titik apinya, ya pasti lulus. Padahal misalnya apinya pakai korek kecil padahal nggak lulus. Pengambilan sampel pun (harus) kritis, titik kritis yang perlu diperhatikan. Personelnya titik kritis, metode umum pengambilan sampelnya juga titik kritis, pengujiannya pun titik kritis,” lanjutnya.
Kemudian Zulhamidi menjelaskan terkait pengujian dan kapan waktunya itu semua sudah termuat dalam skema. Contoh, standar sampel diambil sekian persen, ton atau beberapa titik. Kemudian rumusnya adalah sekian di standar dan hal ini sudah ditentukan dalam skema.
Selain itu, menurut Zulhamidi misalnya BSN membuat skema di setiap lembaga surveyor maka yang membuat akreditasinya adalah Komite Akreditasi Nasional (KAN). KAN akan memvalidasi dengan cara melakukan asasment, dengan witness. Sehingga bila metode yang diterapkan tidak sesuai ketika diuji dan tidak menerapkan aturan yang ditetapkan maka mereka tidak akan mendapatkan aplikasi.
“Jadi memang dari hulu dulu nih disamakan referensinya kita,” jelasnya.
Namun demikian, masih ada 11 perusahaan surveyor yang terdaftar untuk melakukan uji analisa mineral nikel itu menggunakan metode yang berbeda-beda.
Hal itu seperti dalam uji keras yang berbeda-beda. Seperti kasus pemadaman api Apar yang perusahaannya tersebut menggunakan acuan yang berbeda-beda.
“Ada yang pakai standar IN, ada yang pakai standar JIS, ada yang pakai standar ASPN. Referensinya beda-beda semua dan itu juga metodenya beda-beda. Apakah bisa nanti itu apel to apel, saya kira ini nanti akan jadi gado-gado. Tapi hal ini juga masuk kedalam Standar Nasional Indonesia (SNI),” tutur Zulhamidi.
Untuk perusahaan jasa survei, menurut Zulhamidi dibolehkan menggunakan metode uji keras tersebut. Hal itu dibolehkan karena berdasarkan konsensus (kesepakatan bersama) dari pelaku usaha, konsumen dan laboratorium menyamakan titik, waktu dan sebagainya.
“Pasti ada solusinya yang penting kesepakatan dulu. Kalau udah kesepakatan seharusnya siapapun yang mengambil, itu sama hasilnya secara logika frameworknya seperti itu. Input-nya sama, prosesnya sama, pasti output-nya sama,” cetusnya.
Namun menurut Zulhamidi, kalau input-nya sama tapi prosesnya berbeda maka hasilnya berbeda. Input-nya berbeda prosesnya sama maka outputnya berbeda. Jadi input output ini harus disamakan.
“Bagaimana menyamakannya ya dengan sistem SPK tadi. Standardisasikan dulu metode ujinya, standardisasikan dulu skemanya, samakan dulu aplikasinya seperti apa, kita buat skema-skemanya dulu baru nanti dilakukan penerapan dengan disediakan lembaga surveyor yang terakreditasi,” paparnya.
“Kalau sudah ada lembaga surveyor yang sudah terakreditasi ya tinggi B to B (bisnis to bisnis) dan tinggal pilih mana yang paling cepat, mana yang paling murah dan mana yang paling dekat. Itu ranah bisnis,” sambungnya.
Menurut Zulhamidi bahwa Pemerintah sudah menyediakan acuannya dan sudah menyediakan metode ujinya.
“Siapa yang melakukan standar tadi, komite teknis yang ada di sekretariat komite teknis,” tukasnya. (Shiddiq)