
NIKEL.CO.ID – Harga komoditas nikel dibayangi sejumlah sentimen negatif yang terus memacu koreksi yang signifikan. Harga nikel, terekam mengalami koreksi tajam yang dimulai pada akhir bulan Maret. Sejumlah pengamat memperkirakan, kondisi tersebut dipicu oleh sentimen dari China.
Seperti diketahui, Perdana Menteri China Li Keqiang sempat menekankan pentingnya perbaikan regulasi di pasar bahan mentah, termasuk nikel.
Adapun, saat ini, harga nikel telah berada di level terendahnya lebih dari dua pekan menyusul sikap investor yang mempertimbangkan potensi penambahan pasokan dari Filipina.
Filipina merupakan salah satu negara eksportir bijih nikel utama untuk China. Hal ini terjadi di tengah terbatasnya pasokan akibat terhentinya kegiatan pada sejumlah tambang nikel karena pembatasan terkait dampak lingkungan.
Dilansir dari Bloomberg pada Selasa (20/4/2021) harga nikel di bursa Shanghai, China sempat terkoreksi hingga 2,2 persen ke US$16.010 per metrik ton.
Capaian tersebut merupakan posisi terendah nikel sejak 1 April lalu. Sementara itu, harga nikel pada London Metal Exchange (LME) terpantau turun tipis 0,01 persen ke level US$16.363 per metrik ton. Secara year to date (ytd), harga komoditas ini telah terkoreksi sebesar 1,50 persen.
Sebagai buntutnya, emiten-emiten Tanah Air yang berkaitan dengan bisnis nikel tidak menutup kemungkinan terdampak. Sebut sajai PT Vale Indonesia Tbk. (INCO), PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM), PT Harum Energy Tbk. (HRUM), dan PT Trinitan Metals and Minings Tbk. (PURE).
Direktur Keuangan Vale Indonesia Bernardus Irmanto mengatakan level harga nikel pada US$16.000 masih di atas proyeksi perseroan tahun lalu.
“Jadi semua aktivitas dan kegiatan operasional kami sudah mengantipasi harga nikel yang lebih rendah dari harga aktual saat ini,” kata Bernardus kepada Bisnis, Selasa (20/4/2021).
Justru, menurutnya yang lebih berpengaruh adalah naiknya harga komoditas utama seperti minyak dan batu bara. Dia mengatakan, kenaikan tersebut dapat memberikan beban tambahan ke biaya operasional perseroan.
“Jadi kami harus memastikan konsumsi komoditas energi per unit efektif dari waktu ke waktu,” katanya.
Selain itu, lanjut Bernardus, INCO juga mengupayakan peningkatan produktivitas & efisiensi, serta perbaikan berkelanjutan, agar kualitas tetap terjaga.
Dalam keterangan resminya, emiten pertambangan tersebut telah mengumumkan penurunan produksi nikel dalam matte pada kuartal I/2021 sejumlah 15.198 ton.
CEO dan Presiden Direktur Vale Indonesia Nico Kanter menyampaikan perseroan memproduksi nikel dalam matte sejumlah 15.198 ton pada kuartal I/2021. INCO mampu memertahankan kinerja operasionalnya.
“Pada kuartal I/2021, Vale Indonesia berhasil memertahankan keandalan operasionalnya, setelah upaya menangani pandemi Covid-19 yang semakin terarah,” paparnya.
Produksi nikel dalam matte pada 3 bulan pertama 2021 itu turun 8 persen dan 14 persen dibandingkan kuartal IV/2020 dan kuartal I/2020. Pada kuartal IV/2020, INCO memproduksi 16.445 ton, sedangkan kuartal I/2020 sejumlah 17,614 ton.
Nico menjelaskan penurunan produksi pada awal 2021 disebabkan karena adanya aktivitas pemeliharaan. Target produksi INCO pada 2021 sejumlah 64.000 ton, di mana perseroan merencanakan membangun kembali salah satu tanur listrik.
Optimisme Antam
Sementara itu, SVP Corporate Secretary PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM) Kunto Hendrapawoko mengatakan saat ini bisnis nikel perusahaan masih on track. Perusahaan memiliki komitmen menjaga biaya produksi tetap rendah sehingga daya saing usaha produk tetap terjaga positif ditengah volatilitas harga komoditas internasional.
Dia optimistis kinerja komoditas bisnis nikel Antam akan tetap optimal pada tahun ini. Hal itu diperoleh melalui strategi yang selektif dan cermat dengan mengedepankan skala prioritas dalam penyusunan rencana belanja modal.
“Guna memacu kinerja komoditas nikel, Antam akan senantiasa melakukan evaluasi dan juga melihat perkembangan bisnis, dalam hal ini bisnis nikel global,” tambahnya.
Seperti diketahui, ANTM memiliki kontribusi pendapatan dari penjualan bijih nikel pada 2020 tercatat sebesar Rp1,87 triliun atau 7 persen dari total penjualan bersih perusahaan. Penerimaan pasar domestik atas produk nikel Antam tercatat positif pada 2020.
Adapun, nilai penjualan produk segmen nikel Antam di pasar dalam negeri tahun lalu mencapai Rp1,87 triliun, tumbuh 93 persen dibandingkan penjualan domestik segmen nikel tahun 2019 sebesar Rp968,16 miliar.
Performa positif kinerja segmen nikel Antam pada 2020 tecermin dari perolehan laba usaha segmen sebesar Rp2,22 triliun dan laba tahun berjalan segmen nikel sebesar Rp1,92 triliun.
Head Equity Trading MNC Sekuritas Medan Frankie Wijoyo Prasetyo mengatakan, harga nikel masih memiliki ruang untuk bergerak naik sepanjang tahun ini.
Untuk dalam negeri, pemerintah terus berupaya dalam pengembangan dan mendukung penerapan teknologi mobil bertenaga listrik. Salah satunya dalam pembentukan holding perusahaan pabrik listrik milik BUMN.
“Juga kualitas nikel Indonesia dirasa jauh lebih baik dan terintergrasi. Walaupun ada juga kekhatiran jika harga nikel bakal terkoreksi lagi akibat kemungkinan bertambahnya pasokan nikel dari Filipina. Namun produsen nikel Indonsia jauh hari telah bersiap untuk menyonsong era mobil listrik,” jelasnya.
Dia mengatakan untuk emiten penghasilan nikel Indonesia seperti INCO dan ANTM, perlemahan harga nikel memang mungkin bakal menggerus kinerja pada laporan kuartal mendatang.
Frankie menilai, dengan terintegrasinya rantai industri nikel dan juga dorongan pemerintah untuk melakukan penambahan nilai tambah pada nikel mentah, maka pendapatan emiten nikel nantinya dapat terjaga. Kondisi itu menurutnya akan tetap terjadi walaupun harga komoditas nikel sedang turun.
Dari sisi saham, harga saham INCO dan ANTM masih cukup menarik meskipun saat ini keduanya telah mengalami koreksi akibat penurunan harga nikel global. Selain itu, sentimen nikel juga sudah mulai meredup setelah memuncak akibat wacana Tesla yang dulu sempat digadang-gadang akan masuk Indonesia.
Namun, menurutnya keseriusan pemerintah dalam mendukung dan mengembangkan baterai untuk mobil listrik, bakal menopang harga saham emiten-emiten tersebut untuk ke dapannya. Apalagi China saat ini telah mulai memproduksi mobil listriknya sendiri. Kondisi itu diperkirakannya membuat kebutuhan nikel bakal naik ke depannya.
“Harga saham INCO secara teknikal memiliki support di level Rp4.000 dengan target harga di kisaran Rp6.000. Sedangkan untuk ANTM memiliki support kuat di level Rp2.100 dengan target Rp2.500-Rp3.000,” jelasnya.
Analis Samuel Sekuritas Dessy Lapagu menambahkan pelemahan harga komoditas nikel diperkirakan merupakan efek dari kenaikan suplai nikel di China yang menekan harga.
“Meski demikian, secara jangka panjang kami menilai komoditas nikel masih cukup prospektif seiring demand yang masih kuat serta penggunaannya untuk berbagai industri seperti baja dan mobil listrik,” jelasnya.
Untuk itu, Dessy masih merekomendasikan buy saham ANTM menjadi top picks di sektor pertambangan dengan target harga Rp3.230.
Artikel ini telah tayang di Bisnis.com dengan judul “Optimisme Antam (ANTM) & Vale (INCO) di Tengah Pelemahan Harga“.