NIKEL.CO.ID – Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6%, maka Indonesia membutuhkan investasi senilai Rp4.983,2 triliun.
Hal ini sesuai dengan Sasaran Strategis dan Indikator Kinerja Renstra BKPM tahun 2020-2024.
“Kalau kita ingin pertumbuhan ekonomi kita nasional 6% ini adalah target yang akan kita lakukan sampai 2024,” kata Bahlil dalam Webinar Market Outlook 2021 di Jakarta, Selasa (17/11/2020).
Ia mengatakan target tersebut berasal dari investasi di sektor riil mencakup penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan tidak memasukkan sektor keuangan, migas dan investasi pemerintah.
“Ini real investasi di sektor riil, baik penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri,” ujarnya.
Dia merinci, besaran target dalam empat tahun mendatang ini naik hingga 47,3% dari realisasi investasi 2015-2019 yang sebesar Rp3.381,9 triliun.
Adapun, capaian target ini bisa direalisasikan. Untuk bisa mencapai target pada 2024, Bahlil menyatakan, pada tahun ini realisasi investasi harus sebesar Rp 817,2 triliun, pada 2021 Rp858,5 triliun, 2022 Rp968,4 triliun, 2023 Rp1.088,8 triliun, dan 2024 Rp1.239,3 triliun.
“Ini kami diberikan target Bappenas Rp886 triliun pada 2020 sebelum Pandemi Covid -19 namun pandemi kita revisi jadi Rp817,2 triliun, nah sampai September kita sudah realisasi Rp611,6 triliun,” tuturnya.
Ia menyebut meski realisasi investasi tinggi ternyata tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat.
Hal ini disebabkan oleh tingginya Incremental capital output ratio atau ICOR Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga Thailand atau Vietnam.
Tingginya ICOR juga mempengaruhi ongkos biaya yang lebih tinggi dan turunnya daya saing.
Adapun catatannya ICOR Indonesia saat ini di posisi 6,6, angka ini lebih tinggi dibandingkan Vietnam sebesar 4,6, Thailand 4,4, Malaysia 4,5 dan Filipina 3,7.
“ICOR kita tertinggi di Asia Tenggara 6,6 ini biaya sangat tinggi sekali ini potensi terjadi pungli pungli aturan tumpang tindih artinya inekonomis. Untuk menurunkan ICOR Indonesia, maka diperlukan perubahan paradigma sisi pemerintah pusat dan pemerintah daerah” tuturnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan prospek investasi di tahun 2021 untuk tetap survive, maka BKPM melakukan beberapa skenario. Pertama BKPM melakukan pendampingan pengawalan proses investasi dari awal sampai akhir.
Dengan melakukan promosi dan meyakinkan investor, bahwa Indonesia merupakan negara yang layak dimasukin investasi, karena faktor Sumber Daya Alam yang melimpah, dan penduduk yang besar.
“Ada cara pandang kawal perijinan jika ada investasi masuk biar BKPM yang urus perizinan, karena kalau nggak banyak sekali izin di KL dan daerah diputer puter akhirnya orang malas investasi di Indonesia,” jelasnya.
Menurutnya saat ini untuk menggaet investor, BKPM pun merubah paradigma untuk ikut turun langsung menangani permasalahan yang dihadapi investor.
“Gak boleh duduk saja di belakang meja turun ke daerah turun ke negara mana, turun ke pengusaha kita kawal perijinan sampai dorong kalo ada financial close itu kita akan berikan penguatan” jelasnya.
Selain itu, BKPM juga melakukan pengawalan dan pendampingan bagi investor untuk memastikan agar proses investasi berjalan lancar dari tingkat konstruksi dan produksi.
Sebab jika investor belum hingga tahap produksi, maka Negara belum mendapatkan efek positif dari investasi yang masuk.
“Kenapa sebab negara akan dapat multiplier effect dari sebuah investasi ketika produksi sudah berjalan jika baru mulai groundbreaking konstruksi negara ga dapat apa- apa jadi multiplier effect untuk dapat PPN kemudian pertumbuhan ekonomi kawasan terjadi ketika investasi mulai berjalan,” tegasnya.
Selain itu, pemerintah akan mendorong investor masuk ke industri padat karya, khususnya yang berorientasi ekspor yakni industri farmasi dan alat kesehatan, industri otomotif, dan industri elektronik.
“Kenapa kesehatan? Negara kita kecolongan karena 90 persen kebutuhan kita adalah impor baik itu alat dan obat. Jika covid-19 berlanjut terus dan kita ga dapat pasokan obat obatan mau jadi apa negara ini?” tuturnya.
Kedua, pemerintah juga akan mendorong energi baru dan terbarukan, karena di dunia saat ini berbicara mengenai green energy yang merupakan salah satu instrumen investor dalam negeri dan luar negeri menentukan akan berinvestasi di negara mana.
Ketiga Infrastruktur yang sudah menjadi prioritas Presiden Joko Widodo sejak menjadi kepala negara di periode pertama. Sektor tersebut akan dilanjutkan untuk menarik investor.
Kemudian pertambangan menjadi fokus pemerintah karena Jokowi ingin adanya hilirisasi. Ini juga berfungsi menggeliatkan industri dalam negeri.
Ia menegaskan bahwa, transformasi ekonomi dari industri sektor primer ke industri berbasis nilai tambah atau hilirisasi.
Diperlukan transformasi untuk meningkatkan nilai tambah suatu produk yang nantinya akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurutnya Indonesia dapat fokus menjalankan ekonomi berbasis SDA yang menjadi keunggulan Indonesia dibandingkan dengan negara lain seperti Nikel, karena bahan baku baterai 85 % berasal dari Indonesia dan 25% total cadangan nikel di dunia berada di dalam negeri.
“Menyangkut Nikel, ke depan Indonesia harus jadi pemain yang disegani dunia untuk energi terbarukan, khususnya untuk baterai. Kita punya PLTA mumpuni, dan maka kemaren SHTL sudah ada perjanjian dengan BUMN untuk jalankan investasi besar dari hulu dan hilir,” jelasnya.
Ia meyakini Indonesia dapat menjadi pemain besar di kancah internasional dalam hal industri yang berbasis nilai tambah atau hilirisasi.
Artikel ini telah tayang di Investor.id dengan judul “Butuh Investasi Rp 4.983,2 T untuk Capai Pertumbuhan 6%“