Founder NBRI, Profesor Dr Evvy Kartini. Foto: Dok.Nikel.co.id
NIKEL.CO.ID-Founder National Battery Research Institue (NBRI), Profesor Dr Evvy Kartini, mengatakan baterai tidak hanya dipakai untuk kebutuhan rumah, tapi untuk kendaraan listrik, drone, pesawat militer, dan sebagainya.
“Di drone, misalnya, menggunakan baterai lithium, karena ringan dan kecil. Mengapa lithium penting? Lithium merupakan elemen yang memiliki kepadatan paling ringan di dunia. Sebelumnya hidrogen dalam bentuk udara, dan deuterium bentuknya gas. Kemudian ada lithium yang bentuknya padat, tapi paling ringan. Makanya dijadikan bahan baterai. Lithium energinya mudah keluar menjadi elektron. Di dalam baterai yang bergerak ion, di luar baterai yang bergerak elektron,” papar Evvy Kartini kepada Nikel.Co.id.
Evvy Kartini menyampaikan, Presiden Jokowi baru-baru ini mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi perubahan iklim atau COP26. Indonesia diminta ikut meminimalisir terjadinya perubahan iklim. Karena, dunia akan hancur kalau terus panas, ada kebakaran, tsunami, banjir, akibat terjadi terjadi perubahan iklim.
“Kita harus menjaga lingkungan agar suhu bumi tidak naik,” ujar Evvy Kartini.
Pada 2015, imbuhnya, diselenggarakan Paris Agreement. Dari sini Indonesia berkomitmen untuk menurunkan suhu bumi di Indonesia. Salah satu caranya ada peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Kendaraan Listrik.
“Pertanyaannya, apa hubungannya baterai dengan kendaraan listrik dan perubahan iklim?” tanya Evvy Kartini.
Dia menjelaskan, pertama, tidak mengeluarkan karbondioksida (C02). Kedua, tidak menggunakan bensin, akhirnya tidak pakai fosil. Sementara fosil tidak terbarukan dan bisa menimbulkan polusi. Belum lagi pemerintah mengeluarkan triliunan rupiah untuk subsidi bahan bakar. Jadi, banyak sekali permasalahannya.
Evvy Kartini menambahkan, ada lagi program pemerintah di tahun 2025 kendaraan roda empat harus 80 persen menggunakan baterai listrik. Program itu tidak mungkin tercapai jika baterainya hanya mampu diproduksi 30 persen. Jika baterainya dibuat di luar negeri, maka tidak akan tercapai. Maka, harus dibuat di Indonesia.
Menurutnya, secara tidak langsung jika kendaraan pakai baterai, industri pakai EBT (energi baru terbarukan), polusi udara akan menurun. Maka baterai menjadi penting di era transisi energi.
“Lalu, apa hubungannya dengan nikel?” Evvy Kartini kembali bertanya.
Kembali dijelaskan, karena di dalam baterai ada nikel, cobalt, aluminum (NCA). Kemudian ada nikel, mangan, cobalt. Namun, ada juga yang tidak pakai nikel. Contohnya menggunakan Lithium Iron Phospate (LFP), tapi spesifik bahannya rendah. Jika diletakkan di mobil berat sekali. Karena spesifiknya kecil. Untuk ukuran 3,5 ampere hour, dia hanya hanya memiliki daya 1,5 ampere hour. Jika kita perlu 100 ampere hour, bisa menggunakan 200 baterai, sehingga beban kendaraan jadi berat.
“Maka, untuk mobil harus pakai yang ringan, yaitu yang ada nikelnya. Mobil Tesla, dan sebagainya beralih ke baterai yang ada nikelnya,” ujarnya.
Evvy mengungkapkan, perkembangan nikel di 2030, yang banyak dicari adalah nikel dengan kandungan 80 persen nikel. Jadi, baterai NCM 811 itu adalah 80 persen nikel, 10 persen cobalt, 10 persen mangan.
Pangsa pasar baterai NCM 811 menduduki posisi kedua terbesar di China (setelah NCM 523), meningkat menjadi 13 persen pada Agustus 2019.
Baterai NCM 811 telah membuat terobosan di China dan dikomersialkan secara luas kepada produsen mobil listrik seperti Volkswagen, General Motor (GM), dan BMW.
Upaya untuk meningkatkan kandungan nikel pada baterai mobil listrik terus dikembangkan oleh produsen melalui inovasi berikutnya, yaitu baterai NCM 955 (90 persen nikel, 5 persen cobalt, dan 5 persen mangan).
“Nikel punya kapasitas paling besar. Jadi semakin banyak nikelnya, spesifikasinya makin tinggi. Tak hanya itu, body dan rangka mesin mobil pun berbahan nikel,” kata Evvy Kartini (Herkis/Syarif)