Beranda Berita Nasional Prof Irwandy: Strategi Pemerintahan Ketika Proses Banding WTO, Manfaatkan Nilai Tambah dan...

Prof Irwandy: Strategi Pemerintahan Ketika Proses Banding WTO, Manfaatkan Nilai Tambah dan Percepat Industri Hilir Nikel

356
0

NIKEL.CO.ID, 14 Desember 2022 – Staf Khusus Percepatan Bidang Tata Kelola Minerba Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Profesor Irwandy Arif mengungkapkan strategi pemerintah setelah kalah dalam gugatan ekspor bijih nikel oleh Uni Eropa (UE) di World Trade Organization (WTO) ketika mengajukan proses banding, tetap memanfaatkan nilai tambah nikel dan percepatan industri hilir nikel.

Melatarbelakangi kekalahan Indonesia terhadap gugatan UE itu, yang diumumkan pada November 2022 kemarin, dan langkah pertama adalah mengajukan banding.

Namun banding memerlukan proses waktu yang cukup lama, sehingga pemerintah melanjutkan untuk mempercepat proses hilirisasi industri nikel dan untuk urusan banding juru bicaranya diserahkan kepada Departemen Perdagangan.

“Secara garis besar kita ajukan banding, karena sesuai dengan cita-cita kita untuk tidak lagi berdasarkan raw materials pertambangan di Indonesia tapi kepada nilai tambah. Kemudian tentunya ada strategi-strategi lain yang kita kembangkan secara cepat semua industri hilir di nikel,” kata Prof. Irwandy di sela acara ICAMT dan Training of Trainer (ToT) National Battery Research Institute(NBRI), Ruang Penataran, Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Rabu (14/12/2022).

Menurut Irwandy, untuk nikel saprolit sebagai bahan dasar stainless steel pemerintah akan memberi batasan karena sudah terlalu banyak saprolit digunakan hingga sekarang.

Sementara untuk nikel kadar rendah atau limonit, saat ini sedang dikembangkan dari ore nikel menjadi MHP, lalu nikel sulfat sebagai bahan baku prekursor baterai listrik.

Ia menjelaskan bahwa masa tenggang antara pengajuan banding hingga putusan banding dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk membuat program pemberdayaan komoditi nikel untuk ke depannya.

“Jadi masih ada waktu buat Indonesia untuk memikirkan kira-kira program apa yang akan dibuat untuk nikel ini ke depan,” jelasnya.

Selain itu, Irwandy juga memaparkan mengenai semangat pemerintah dalam strategi pengembangan produksi baterai electric vehicle (EV) dan kendaraan listrik itu masih ada. Hal ini terbukti dengan adanya satu penelitian dan sudah direalisasikan oleh kepala project di Solo, Universitas Negeri Solo (UNS) bekerjasama dengan Institute Teknologi Bandung (ITB).

“Mereka sudah jadi baterainya kemudian sudah diuji cobakan kepada sepeda dan motor. Ini tentunya perlu dukungan penuh dari pemerintah untuk bisa bantu di ekonomi. Itu yang pertama,” paparnya.

Irwandy melanjutkan bahwa produksi kendaraan motor listrik bukan berarti berhenti gara-gara belum ada dukungan penuh dari pemerintah. Akan tetapi tetap pengembangan kendaraan motor listrik terus melaju. Namun tetap memerlukan sokongan dana dari pemerintah.

Kemudian yang kedua, tambahnya, dorongan untuk memproduksi kendaraan motor listrik itu sudah ada. Di Kementerian ESDM sendiri sudah memproduksi 1.000 unit sepeda motor listrik. Namun saat ini yang menjadi persoalan adalah biaya produksi.

“Jadi, kalau kita mengkonversi motor yang sekarang pakai bensin ke motor listrik di sistem baterai itu biayanya masih sekitar Rp 15 juta. Kalau kita lihat harga pasaran dari motor listrik di Indonesia ini bergerak antara belasan juta sampai Rp 35 juta per motor,” lanjutnya.

Menurut Irwandy, pemerintah memiliki program melalui PT Pertamina yang sedang dilakukan saat ini yaitu produksi 1.000 motor listrik dan juga ada lagi di instansi lainnya untuk memperbanyak produksi kendaraan listrik.

Ia mengungkapkan bahwa program kendaraan listrik memiliki dua tujuan utama. Pertama, mengurangi defisit di sektor minyak.

Kedua, mengurangi defisit di LPG untuk gas rumah tangga yang digunakan sehari-hari.

“Yang berhubungan langsung dengan pengembangan baterai dan untuk mobil listrik dan motor listrik ini bagian yang mengurangi devisit dari minyak,” ungkapnya.

Untuk program tersebut sudah banyak kemajuan yang dihasilkan dalam mengurangi defisit minyak dan gas. Namun Indonesia masih ada kelemahan dalam pengembangan produksi baterai kendaraan listrik yaitu teknologi.

“Memang kelemahan kita di Indonesia secara umum semua smelter, semua pemurnian, pabrik pemurnian itu kita tidak punya teknologi. Kita tidak punya manufacture, sehingga kita membayar mahal di sana sampai saat ini,” ujarnya.

Selain pengembangan produksi baterai, diperlukan juga teknologi canggih untuk pemurnian di pabrik smelter. Karena sebelum mengolah nikel menjadi baterai harus melalui proses pemurnian di pabrik smelter.

“Ini yang kita tidak punya, apalagi manufacturenya yang langsung buat pabriknya kontraksi sendiri dan sebagainya,” tuturnya.

Terakhir, Irwandy menjelaskan mengenai kemudahan bagi pelaku industri hulu dan hilir pertambangan nikel yaitu berupa insentif keuangan yang diberikan melalui Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, dan lainnya sudah cukup besar.

Menurutnya, apakah insentif keuangan itu sudah dimanfaatkan dengan baik atau tidak oleh para pelaku industri baterai selama ini. Dari data yang diperoleh hasil diskusi bersama Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) itu sudah ada 10 smelter yang mengelola untuk bahan baku baterai.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa sudah ada dua atau tiga smelter berteknologi HPAL yang mulai memproduksi. Namun sampai saat ini produksi yang dihasilkan baru sampai pada MHP, nikel sulfat, kobalt sulfat, prekursor hingga katoda.

Ia menekankan, jangan sampai berdiskusi soal baterai namun hal yang paling penting dan utama dilupakan dan tidak dimiliki, yaitu teknologi.

“Jadi terlalu banyak orang bicara baterai dan baterai, tapi upaya kita di teknologinya nggak ada, belum punya. Ini yang harus kita lakukan di sana karena kita terlalu mahal menghabiskan di sana. Karena kita mengatakan kita belum sium-sium (sadar-sadar) di dalam nilai tambah tersebut,” tukasnya. (Shiddiq/Syalom)

Artikulli paraprakMencari Output dan Outcome di ICAMT dan Training of Trainers NBRI
Artikulli tjetërKetum Perhapi Sebut Empat Kriteria Komoditas Mineral Masuk Kategori Kritis