NIKEL.CO.ID, 23 MEI 2023-Tren harga jual bijih nikel murni yang diperdagangkan London Metal Exchange (LME) selama dua pekan lebih di Mei 2023 semakin tak menggairahkan para penambang dan trader. Memberi pengaruh terhadap perhitungan HMP Nikel, muncul inisiasi membuat Indonesia Nickel Price Index (INPI).
LME pada Kamis (25/5/2023) pukul 11.00 waktu London menawarkan harga bijih nikel murni di sesi pembukaan perdagangan sebesar US$ 20.900 per dry metric ton (dmt). Kemarin, Rabu (24/5/2025), transaksi jual beli bijih nikel murni mentok di angka US$ 20.732 per dmt.
Nilai jual bijih nikel murni di LME semenjak dua pekan lebih di Mei 2023 semakin tidak berdaya. Lantaran terus mengalami kontraksi.
Berdasarkan pantauan nikel.co.id, harga bijih nikel murni sempat gagah di angka US$ 25.000 per dmt saat sesi penutupan transaksi jual beli pada 2 Mei 2023 atau naik US$ 715 per dmt dari sesi penutupan perdagangan 1 Mei, sebesar US$ 24.285 per dmt.
Namun, pada sesi penutupan perdagangan 3 Mei, harganya terpaku di angka US$ 24.600 per dmt atau turun US$ 400 per dmt. Nilai tawar bijih nikel murni kembali melemah pada 4 Mei, yang mentok di angka US$ 24.000 per dmt, atau turun US$ 600 per dmt.
Harga nikel bijih murni berhasil keluar dari rangebound pada sesi penutupan perdagangan 5 Mei, yakni di angka US$ 24.705 per dmt, atau naik US$ 705 per dmt. Kondisi menggembirakan bagi penambang dan traders hanya sehari saja. Pada sesi penutupan perdagangan 9 Mei, harga bijih nikel murni merosot jauh ke level US$ 23.475 per dmt, atau turun US$ 1.230 per dmt.
Kekuatan bijih nikel murni untuk menaiki anak tangga sepertinya masih mengalami kendala. Hal ini terlihat semakin tidak berdayanya posisi tawar pada sesi perdagangan 10 Mei, yang ditutup di angka US$ 22.460 per dmt, atau turun US$ 1.015 per dmt. Kembali harga nikel bijih murni merosot di angka US$ 21.870 per dmt pada sesi penutupan perdagangan 11 Mei, atau turun US$ 590 per dmt.
Mencoba “melawan” dari pelbagai kendala yang memengaruhi nilai jual, LME berhasil menaikkan harga bijih nikel murni pada 12 Mei, sebesar US$ 22.210 per dmt, atau naik sedikit US$ 340 per dmt. Namun kembali melemah di angka US$ 21.895 per dmt pada sesi penutupan perdagangan 15 Mei, atau turun US$ 315 per dmt.
Penambang dan traders kembali muram, karena daya tawar bijih nikel murni kontraksi di angka US$ 21.005 per dmt pada 16 Mei, atau turun US$ 890 per dmt. Mencoba bangkit pada sesi perdagangan 17 Mei, harga nikel merangkak naik US$ 495 per dmt, atau menembus transaksi di angka US$ 21.500 per dmt.
Gairah kenaikan harga bijih nikel di 17 Mei, ternyata tidak bisa dipertahankan pada sesi perdagangan 18 Mei, yang turun sebesar US$ 600 per dmt, atau mentok di angka US$ 20.900 dmt.
Barulah di sesi perdagangan 19 Mei, harga nikel naik anak tangga hingga level US$ 21.470 per dmt, atau naik US$ 570 per dmt. Sayang, pada sesi perdagangan 22 Mei, posisi tawar bijih nikel murni kembali merosot sedikit, yakni di angka US$ 21.280 per dmt, atau turun US$ 190 per dmt.
Sesudahnya, tren harga nikel terus melemah pada sesi perdagangan 23 Mei, yang terjungkal di angka US$ 20.910 per dmt, atau turun US$ 370 per dmt. Penurunan dilanjutkan pada sesi perdagangan 24 Mei, yang hanya tembus di angka US$ 20.755 per dmt, atau turun US$ 155 per dmt.
Banyak faktor yang menyebabkan tren harga bijih nikel murni terus melemah. Mulai dari dampak masih berlanjutnya invasi militer Rusia ke Ukraina, hingga menyebabkan negara yang dipimpin Presiden Vladimir Putin mendapat sanksi ekonomi dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Salah satu akibat dari sanksi tersebut, pengiriman bijih nikel Rusia ke AS dan negara-negara Barat menjadi terhambat. Impor nikel Rusia ke AS tercatat US$ 188 per tahun.
Faktor lain, kondisi ekonomi global saat ini sedang tidak menentu. Tren produksi stainless steel yang bahan bakunya dari nikel di pabrik-pabrik kawasan Asia Timur, khususnya di Tiongkok saat ini mengalami penurunan. Traders dari Filipina bahkan sedikit mengerem suplai bijih nikel ke Tiongkok, lantaran harga jualnya terus melemah.
Dampak Harga Nikel di Indonesia
Kondisi harga bijih nikel yang terus mengalami penurunan, tentu saja berdampak kepada tren harga bijih nikel di Indonesia. Karena, Pemerintah Indonesia masih mengacu pada tren rata-rata harga nikel di LME dalam menentukan besaran Harga Mineral Acuan (HMA) Nikel—yang selanjutnya sebagai dasar perhitungan Harga Patokan Mineral (HPM) sesuai kadar bijih nikel tersebut.
Dalam Kepmen ESDM yang dikeluarkan setiap bulan tentang HMA Mineral Logam dan Batu Bara, dijelaskan bahwa HMA Nikel adalah harga logam nikel dalam cash seller and settlement yang dipublikasikan London Metal Exchange (LME).
Lantaran itu, muncul permintaan supaya Pemerintah Indonesia tidak lagi mengacu pada tren rata-rata perhitungan harga bijih nikel di LME. Muncul inisiasi supaya Indonesia mempunyai indeks harga komoditas mineral sendiri, sebagai acuan dasar nilai bijih nikel dalam transaksi jual beli di dalam negeri.
Sekteratis Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, berharap Indonesia bisa lebih independen dalam menentukan angka-angka HPM Nikel. Dasarnya, Indonesia bukan hanya negara penghasil sumberdaya dan cadangan nikel terbesar dunia, namun juga produsen dan supply chain terbesar dunia untuk produk olahan bijih nikel.
“Indonesia mempunyai modal sebagai pemimpin dunia untuk komoditas nikel. Indonesia mempunyai banyak sumber daya bijih nikel, dan unsur logam lainnya, yaitu mangan dan kobalt. Karena itu, saat ini Indonesia harus mempunyai peranan untuk mengontrol nikel atau produk olahan nikel dunia,” kata Meidy suatu ketika.
Ia mengestimasi, selama ini smelter di Indonesia yang memproduksi NPI dan FeNI menjual produknya menggunakan basis Shanghai Futures Exchange (ShFE) di mana sebesar 45%-nya berbasis dari LME, jika Indonesia sudah mempunyai Indonesia Nickel Price Index (INPI), bisa menekan selisih dari harga LME sekitar 20%. Maka, masih memberikan keuntungan pihak penambang maupun smelter.
APNI baru-baru ini melakukan pertemuan dengan Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) di Jakarta. Pengurus DPP APNI yang hadir antara lain Ketua Umum APNI, Komjen Pol. (Purn) Drs. Nanan Soekarna, Sekretaris Umum APNI, Meidy Katrin Lengkey, dan Divisi Hukum, Ida Sumarsih. Sementara jajaran DPP FINI antara lain Ketua Umum FINI, Alexander Barus dan Sekretaris Lily Dewi Candinegara.
Kedua organisasi ini membangun diskusi, pertama mengenai harga bijih nikel berbasis London Metal Exchange (LME). Kedua, persoalan ilegal mining, di mana pabrik akan berkoordinasi dengan APNI untuk menolak cargo bijih nikel ilegal. Ketiga, pemanfaatan slag pabrik. Keempat, rencana pembentukan Indonesia Nickel Price Index (INPI).
Terpisah, Founder Indonesia Institue for Mineral and Metal Industry (IM2I), Dr. Raden Sukhyar berpandangan, bisa saja Indonesia lepas dari bayang-bayang LME dalam penentuan perhitungan HPM Nikel. Tak hanya HPM Nikel, mantan Dirjen Minerba ini bahkan setuju jika Pemerintah Indonesia membuat indeks harga nikel sulfat yang dibutuhkan untuk bahan baku baterai listrik.
“Nikel sulfat dicari produsen di dunia. Maka, seharusnya sudah ada indeks harga untuk nikel sulfat,” kata Raden Sukhyar kepada nikel.co.id via telepon, medio Januari 2023.
Ia mengutarakan, Coal Index sudah mewacanakan untuk membuat indeks harga nikel sulfat. Karena, nikel sulfat ada unsur premium yang mempunyai nilai tinggi.
“Jika bicara nilai premium, berarti sudah masuk business to business. Maka, menjadi penting untuk distandarkan nilai premium tersebut,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Djoko Widajatno berpandangan sama dengan APNI dan IM2I.
“Harga metal menurut sejarah ditentukan oleh LME dan Shanghai Metal Market. Tapi, kita perlu membuat patokan harga. Karena apa? Smelter menghargai bijih nikel penambang rendah. Sehingga harus ada indeks harga nikel yang disepakati bersama. Supaya tidak terjadi kerugian di antara kedua belah pihak,” kata Djoko Widajatno kepada nikel.co.id.
Sepengetahuannya, sejauh ini keuntungan yang diterima penambang bijih nikel dari harga jual hasil tambangnya paling kecil. Karena yang dijual bijih nikel. Sedangkan smelter, sudah mengalami kenaikan nilai. Dari sisi harga jualnya jika sudah diolah menjadi produk setengah jadi sudah naik.
Menurut Djoko, untuk perhitungan harga komoditas batu bara, saat ini sudah ada Indonesia Coal Index (ICI) atau Indeks Batu Bara Indonesia. Dasar penentuan harga dasar komoditas batu bara berdasarkan penilaian Argus dan Coalindo Energy. Harga tersebut diperuntukan bagi batu bara thermal Indonesia. ICI diketahui sebagai harga acuan royalti di Indonesia dan pembayaran resmi. Sebelumnya, harga batu bara masih mengikuti harga internasional yang ditentukan negara lain, seperti Australia.
“Penentuan harga dasar batu bara yang dikeluarkan ICI tidak terlalu tinggi, tapi tidak juga terlalu rendah. Tapi masih bisa mengikuti pasar dunia,” jelas Djoko.
Ia berpandangan, indeks harga ini bisa saja dibuat oleh Indonesia untuk komoditas mineral logam lainnya, seperti timah dan bauksit. Indeks harga komoditas ini untuk mencari rata-rata harga di tengah-tengah. Jika tren harganya sedang naik, penambang nikel, timah, atau bauksit masih dapat untung.
“Kalaupun tren harganya sedang turun, mereka masih bisa hidup. Sehingga kita bisa ketemu win- win solution,” imbuhnya. (Lili Handayani/Shiddiq/Syarif)